Sabtu 08 Jul 2017 16:37 WIB

YLKI Minta Kejelasan Data Penerima Subsidi Listrik

Rep: Kabul Astuti/ Red: Gita Amanda
Kenaikan tarif listrik (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Kenaikan tarif listrik (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah lewat Perusahaan Listrik Negara (PLN) melakukan pencabutan subsidi listrik bagi kelompok rumah tangga pelanggan 900 Volt Ampere (VA) yang masuk kategori mampu. Hal itu membuat sebagian warga masyarakat berteriak keberatan.

Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan ada beberapa isu kelistrikan yang sering diadukan konsumen. Di antaranya, persoalan pricing policy atau kebijakan harga. Isu ini banyak dikeluhkan masyarakat, terutama sejak pencabutan subsidi listrik untuk sebagian pelanggan 900 VA.

"Kalau dari sisi konsumen, idealnya besar kecilnya tarif berbanding dengan besar kecilnya benefit atau tingkat mutu pelayanan. Jadi kadang-kadang bagi masyarakat tidak mudah mencerna, belanja listrik masyarakat naik karena subsidinya dicabut," kata Sudaryatmo di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (7/7).

Menurut Sudaryatmo, masyarakat akan jauh lebih mudah memahami jika belanja listrik konsumen naik tapi sekaligus diimbangi dengan kenaikan tingkat mutu pelayanan. Misalnya, dari sisi pemadaman per triwulan dari 20 kali menjadi 10 kali. Kasus-kasus YLKI, menurut Sudaryatmo, kebanyakan kaitannya dengan tingkat mutu pelayanan PLN.

Pengurus Harian YLKI ini menekankan, pencabutan subsidi bagi pelanggan kategori rumah tangga 900 VA harusnya didasarkan pada basis data yang tepat. "Tentang subsidi yang berkeadilan, harus ada penjelasan profil konsumen yang subsidinya dicabut dan profil konsumen yang dipertahankan," kata Sudaryatmo.

Menurutnya, masyarakat berhak tahu kriteria rumah tangga yang subsidinya dicabut dan yang dipertahankan. Ia menilai bahwa kebijakan tarif listrik harus melibatkan intervensi pemerintah karena listrik termasuk esensial services. Mestinya, Sudaryatmo mengatakan, ada peran negara. Negara punya kepentingan terhadap stabilisasi tarif listrik.

Menurut dia, pemerintah bisa mencadangkan dana khusus yang bisa digunakan untuk stabilisasi. Kalau negara sudah berupaya maksimal, baru risiko tersebut dapat dialihkan ke konsumen. Skema penyesuaian tarif saat ini, kata Sudaryatmo, memindahkan risiko keuangan global kepada konsumen.

"Pemerintah punya kepentingan untuk melakukan stabilisasi tarif listrik. Ini penting tidak hanya bagi rumah tangga, tapi juga bagi industri. Tarif adjustment itu sebenarnya menimbulkan ketidakpastian khususnya dari sisi industri," kata dia.

Sudaryatmo menuturkan intervensi pemerintah perlu dilakukan mulai tahap produksi. Misalnya, pembangunan pembangkit listrik tidak dibebankan ke PLN. Selain itu, intervensi dalam hal distribusi jaringan. Jaringan selama ini sering menjadi masalah karena Indonesia negara kepulauan.

Sudaryatmo juga memandang perlunya intervensi dalam pricing policy. Ia menyebut pemerintah terkesan lempar badan dalam soal ini. "Dalam konteks pricing policy, pemerintah itu intervensinya justru lempar badan bukan mengambil alih tanggung jawab. Risiko global di-deliver ke konsumen bukan di-take dulu pemerintah," ujarnya.

Sudaryatmo menambahkan, isu ketersediaan listrik atau rasio elektrifikasi juga kerap menjadi bahan aduan. Tidak hanya tersedia, tapi menurutnya, PLN juga harus bisa menjamin aliran pasokan itu karena konsumsi listrik sifatnya terus menerus. Angka rasio elektrifikasi Indonesia saat ini berkisar 91 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement