Rabu 05 Jul 2017 05:48 WIB

Dekrit Presiden 5 Juli: Mempertautkan Golongan Islam dan Kebangsaan

Soekarno keluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959
Foto:
Suasana rapat pembahasan Piagam Jakarta.

Ketika pada awal November 1956, Konstituante yang terbentuk dari hasil Pemilu 1955 memulai persidangannya,  komposisi keanggotaannya segera memperlihatkan tidak ada satupun di antara pendukung dasar negara Pancasila dan dasar negara Islam yang menuai dukungan dua pertiga anggota Konstituante sebagaimana dipersyaratkan oleh UUD Sementara 1950.

Sesungguhnya sejak awal sudah terlihat jalan terjal yang harus dilalui oleh Konstituante. Akan tetapi, mengingat janji-janji yang telah disampaikan oleh tiap-tiap partai politik pada masa kampanye, kedua golongan berada dalam posisi untuk tidak pagi-pagi mencari jalan kompromi.

Lagi pula, fungsi Konstituante memang untuk menyusun dan menetapkan konstitusi yang definitif. Seperti dikemukakan oleh Mohammad Natsir (1908-1993), fungsi itu hanya dapat dipenuhi apabila Konstituante mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk membanding pikiran-pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.

"Tegasnya," kata Natsir, "untuk melakukan orientasi yang sungguh-sungguh, agar hasil yang hendak dicapai nanti benar-benar dapat dipertanggungjawabkan bagi rakyat dan keturunan kita di masa datang."

Karena itu,  sejak dini Natsir telah mengingatkan, apabila di dalam membahas masalah-masalah "struktur negara", "dasar negara", dan lain-lain, muncul alternatif "federasi" di samping "kesatuan", alternatif "Sosial-Ekonomi" atau "Islam" di samping Pancasila, itu tidak boleh menimbulkan kegusaran dan semacamnya dari pihak manapun.

"Dan tidaklah pada tempatnya, bila orang buru-buru mempergunakan kualifikasi-kualifikasi seperti 'tidak setia kepada negara' atau 'mengkhianat kepada Proklamasi'," ujar Natsir.

Titik Kulminasi

Titik kulminasi pekerjaan Konstituante terjadi dalam rapat Badan Pekerja Konstituante  pada 9 Februari 1959.

Dari delapan rancangan Pembukaan UUD, Badan Pekerja memerasnya menjadi dua rumusan rancangan. Yang satu didukung oleh golongan Kebangsaan dengan 99 suara,  yang satu lagi didukung oleh golongan Islam dengan 82 suara.

Pokok persoalannya tetap sama,  yakni mencari rumusan Pembukaan UUD yang, meminjam kata-kata Prawoto, "secara lahir batin sepenuhnya secara bersama-sama didukung oleh dua golongan besar di dalam masyarakat Indonesia." Suatu rumusan yang memadukan secara utuh aspirasi golongan Kebangsaan dan golongan Islam.

Bagi golongan Islam di Konstituante yang terdiri dari Partai Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan beberapa partai Islam lainnya, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dari semula dimaksudkan sebagai rumusan perpaduan. Atau dalam istilah Bung Karno,  rumusan kompromi yang sebaik-baiknya antara golongan Kebangsaan dan golongan Islam.

Pendekatan yang Tidak Tepat

Sepuluh hari sesudah pemungutan suara di Konstituante, Kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ir.  H.  Djuanda dengan suara bulat telah mengambil keputusan mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945.

Salah satu rumusan dalam Keputusan Kabinet Djuanda itu berbunyi: "Untuk mendekati hasrat golongan-golongan Islam, berhubung dengan penyelesaian dan pemeliharaan keamanan, diakui adanya Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang ditandatangani oleh Sukarno, Mohammad Hatta, A. A. Maramis,  Abikoesno Tjokrosoejoso, A. K. Mudzakkir, Agus Salim, A. Soebardjo, A. Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin."

Terjadi dialog yang amat produktif antara PM Djuanda dengan anggota DPR dari Partai NU, Achmad Sjaichu mengenai maksud disebut-sebutnya Piagam Jakarta dalam keputusan Kabinet Djuanda.

Sayang sekali, karena pendekatan Pemerintah yang kurang tepat,  antara lain karena terasa ada unsur intimidasi dalam keterangan Pemerintah, dialog antara Pemerintah dengan Konstituante terhenti.

Padahal, jika dialog antara Pemerintah dengan Konstituante berlanjut,  dan kedua pihak bersepakat untuk kembali ke UUD 1945, telah disiapkan sebuah rancangan piagam yang disebut Piagam Bandung yang akan ditandatangani oleh Presiden, Perdana Menteri, seluruh menteri,  dan seluruh anggota Konstituante.

Pada alinea keempat rancangan Piagam Bandung termaktub rumusan: "Bahwa diakui Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang ditandatangani oleh Sukarno, Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, A. K. Mudzakkir, Agus Salim, A. Soebardjo, A. Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin sebagai dokumen historis dan yang menjiwai penyusunan Pembukaan Undang-Undang 1945, yang menjadi bagian dari Konstitusi Proklamasi tersebut."

Dengan tawaran rancangan Piagam Bandung seperti itu,  tampak jelas hasrat kuat Kabinet Djuanda untuk menjembatani dua kubu yang berhadap-hadapan di Konstituante.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement