REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemerintah Kota Yogyakarta memastikan tidak ada tindakan intoleransi yang berkembang di sekolah negeri di kota tersebut. Dia menjamin proses belajar mengajar dilakukan pada koridor kebangsaan dan kebhinekaan.
"Kami sangat terusik dengan isu intoleransi yang berkembang di sekolah negeri di Kota Yogyakarta. Kami yakinkan bahwa hal seperti itu tidak ada," kata Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti di Yogyakarta, Selasa (4/7).
Menurut Haryadi, siswa di seluruh sekolah di Kota Yogyakarta diajarkan untuk selalu mengembangkan sikap dan gaya hidup yang mengedepankan toleransi dengan tidak membatasi pertemanan hanya pada kelompok tertentu saja. Ia pun meminta orang tua, wali murid atau siswa yang mengalami atau mengetahui tindakan intoleransi agar langsung melapor ke kepala daerah atau ke instansi yang memiliki kewenangan atas satuan pendidikan.
Sebelumnya, isu mengenai tindakan intoleransi dialami oleh SMP Negeri 5 Yogyakarta. Di salah satu media, SMP negeri favorit di Kota Yogyakarta tersebut dinyatakan mewajibkan seluruh siswi Muslim mengenakan hijab. Namun, pernyataan tersebut langsung dibantah oleh Kepala SMP Negeri 5 Yogyakarta Suharno yang menyatakan tidak ada aturan atau kewajiban tersebut. "Di dalam tata tertib sekolah memberikan kesempatan siswi Muslim untuk berhijab, tetapi tidak disebutkan adanya kewajiban bagi mereka untuk berhijab," katanya.
Menurut dia, sekolah tidak pernah membeda-bedakan murid berdasarkan agama yang mereka anut, tetapi tetap mengembangkan sikap saling menghormati dan menghargai meskipun berbeda keyakinan. "Setiap pagi, siswa diberikan waktu 15 menit untuk penguatan ibadah sesuai agama masing-masing. Hal itu pun dilakukan di ruangan sendiri-sendiri secara terpisah," katanya.
Sementara itu, Kepala SMA Negeri 1 Yogyakarta Rudy Prakanto mengatakan, isu mengenai tindakan intoleransi juga sempat mendera sekolah yang dipimpinnya. "Isu intoleransi ini sering muncul setiap memasuki masa penerimaan siswa baru," kata Rudy.
Sejumlah isu tersebut di antaranya adalah pemisahan ruang kelas untuk siswa laki-laki dan perempuan, atau ada kain pemisah tempat duduk antara siswa laki-laki dan perempuan jika kelas mereka digabung. "Tidak ada hal-hal seperti itu. Semua siswa mendapatkan perlakukan yang sama, termasuk untuk kegiatan keagamaan mereka," katanya.