Ahad 02 Jul 2017 10:42 WIB

Indonesia Hari Ini: Banyak Traffic Light di Satu Tiang!

Traffic light/ilustrasi
Foto: ist
Traffic light/ilustrasi

''Banyak traffic light di satu tiang!. Seperti 'itulah yang terjadi di Indonesia pada hari ini.  Ungkapan jengkel, sinis, dan marah  sering saya dengar belakangan ini.

Tak beda seperti yang anda dengar. Kadang bisa terima. Lama-lama nggak juga. Hidup dengan hiruk pikuk, siapa yang tak lelah.

Karenanya ada teman yang ingin pindah ke New Zealand. "Secara mental, hidup di sana tak terganggu", katanya.

Orang Medan bilang: “Enaaak kaliii dia”. Dengan uang bisa segera pindah. Tinggal saya yang terbengong iri.

Nah, ketika direnung-renungkan, hidup di kita sekarang seolah tak beraturan. Etika, apalagi. Aturan sih ada. Tapi ya itu dia. Untuk dilanggar. Seperti banyak pengendara motor. Tak langgar aturan, gak afdol rasanya.

Aturan bermasyarakat jadi persis traffic light (Lampu pengatur lalu lintas). Peran awal pemandu. Kini seolah jadi pengatur kisruh. Lama-lama saya bisa gila bener nih. Aturan terus disiasahi. Alih-alih tertata, malah betul-betul jadi “pemandu kisruh”. Kisruh yang terorganisir!

Soal lampu merah kuning hijau, sebenarnya buat saya jadi sindiran yang jleeeb banget. Saya termasuk mahluk yang antagonis. Pada orang lain tegas. Untuk diri sendiri selalu kompromis. Anda?

Lihat merah kuning hijaunya lampu, akhirnya saya juga tergantung sikon. Di satu sisi, saya bisa katakan kasihan Jokowi, dia harus hadapi masyarakat yang susah diatur. Seperti kisruhnya traffic light. Tergantung sikon.

Otomatis saya dapat simpati. Jika Jokowi tak baca, setidaknya ada pendukungnya yang baca. Sebaliknya saya katakan, Jokowi ini part of the problem kekisruhan. Apa reaksi yang pro dia.

Seperti anda pula, saya part of the society. Dengan harapan bukan bagian dari problema. Tapi jujur. Hidup di Indonesia, bias untuk jadi warga baik atau bermasalah. Tergantung sudut pandang, cara pandang, dan kejernihan memandang.

Memang lebih banyak yang tergantung pada cara dan sudut pandang. Posisi. Kini pelapor jadi masalah. Yang terlapor lebih leluasa berkiprah. Yang tak seselera pembangunan, jadi anak tiri. Malah dibuatkan rekayasa tayangan.

Maka gimana hendak jernih memandang? Ingin baik, diberi kesempatan tak baik. Seolah malah dipaksa jadi tak baik. Saya yang terlanjur selalu ingin hidup enak, makin terbuai tak peduli pada persoalan negeri.

Waaah gawat! Saya terus meluncur ke “part of the problem”. Saya tak ingin seperti banyak traffic light di satu tiang. Segala sesuatu tergantung kenyamanan saya. Anda?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement