REPUBLIKA.CO.ID, Secara sederhana, pendidikan karakter adalah proses pendidikan yang fokus pada etika, akal budi, akhlak, sikap hidup, dan emosi peserta didik.
Muhammadiyah telah membangun 14.450 sekolah di seluruh nusantara. Langkah sukses ini tidak lepas dari gerakan dakwah yang dilakukan Muhammadiyah melalui pendidikan. Hal ini juga menjadi salah satu kontribusi nyata Muhammadiyah dalam upaya memberikan pendidikan kepada masyarakat dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Data Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah, terdapat 14.450 pendidikan dasar dan menengah yang terdiri dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Pondok Pesantren, dan masih ditambah dengan TK/ PA UD sejumlah 23.435 serta 172 Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Angka-angka itu pun tampaknya tidak akan berhenti di sini. Jumlah itu akan bertambah dari tahun ke tahun lantaran Muhammadiyah bakal terus melakukan pembangunan sekolah baru di berbagai tempat di Tanah Air. Namun, satu hal yang tidak kalah penting dalam aspek pendidikan tersebut adalah adanya pendidikan karakter terhadap para peserta didik. Secara sederhana, pendidikan karakter adalah proses pendidikan yang fokus pada etika, akal budi, akhlak, sikap hidup, dan emosi peserta didik.
Sehingga, proses pendidikan tidak hanya mengembangkan proses kognitif, tetapi juga karakter dari peserta didik. Menurut Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk membentuk karakter bangsa. "Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional," ujar Mu'ti.
Pemerintah pun terus berupaya untuk memperkuat pendidikan karakter. Salah satunya adalah lewat Peraturan Mendikbud Nomor 23 Tahun 2017. Permendikbud ini mengatur soal pelaksanaan sekolah lima hari dengan masa belajar delapan jam setiap hari. Abdul Mu'ti mengakui, kebijakan tersebut tentu akan berdampak pada penyelenggaraan pendidikan formal dan nonformal, tidak terkecuali lembaga pendidikan Muhammadiyah.
"Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah mengelola lembaga pendidikan sekolah, madrasah, diniyyah, dan pesantren dalam bentuk boarding school. Tidak sedikit warga Muhammadiyah yang bekerja sebagai guru. Karena itu Muhammadiyah jelas terdampak oleh Kebijakan Mendikbud tersebut," ujarnya.
Prinsip luas dan luwes
Kendati begitu, dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah, Muhammadiyah, kata dia, akan berusaha mematuhi hukum dan aturan yang berlaku, asalkan tidak bertentangan dengan Islam. Sekolah lima hari, menurutnya, sebenarnya adalah masalah strategi, bukan pada substansi. "Karena itu, Muhammadiyah pun menyikapi hal tersebut secara proporsional," kata Mu'ti.
Selama ini, Muhammadiyah selalu akomodatif dalam menerapkan peraturan dan undang-undang. Mu'ti memberi contoh, saat adanya peraturan tentang Pendidikan Agama. Di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, pendidikan agama diajarkan sesuai dengan agama siswa dan diajarkan oleh guru seagama. Sekolah-sekolah Muhammadiyah pun menerapkan aturan tersebut dengan memberikan pelajaran agama Kristen kepada murid yang beragama Kristen dengan pengajar dari guru beragama Kristen.
Pun kaitannya dengan kebijakan sekolah lima hari, yang sempat menuai pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. "Muhammadiyah akan berusaha untuk menyesuaikan diri. Ciri Muhammadiyah senantiasa berpandangan luas dan bersikap luwes. Karena prinsip luas dan luwes itulah Muhammadiyah dan amal usahanya bisa bertahan dan berkembang," ujar Mu'ti.
Lebih lanjut, Mu'ti menilai, sebenarnya secara kebijakan, penguatan pendidikan karakter sudah dimulai oleh Muhammad Nuh saat menjabat sebagai Mendiknas. Pada saat itu, Muhammad Nuh memberlakukan Kurikulum 2013 (K-13) sebagai pengganti Kurikulum 2006 (KTSP). Dalam K-13 itu, kata dia, ada penekanan sikap spiritual dan sikap sosial sebagai kompetensi yang harus ada dalam setiap mata pelajaran.
Selain itu, ada pula perubahan durasi pelajaran agama, yang sebelumnya dua jam pelajaran per pekan menjadi tiga jam pelajaran tiap pekan. Sementara untuk kebijakan sekolah lima hari dengan masa belajar delapan jam merupakan strategi pendidikan karakter yang diambil oleh Mendikbud, Muhadjir Effendi. Hal ini lantaran masih kurang efektifnya sistem sekolah saat ini, terutama terkait banyaknya waktu luang di luar kegiatan sekolah.
Demikian pula dengan masalah akademik dan administrasi keguruan. Menurut dia, saat ini banyak anak yang masih mengikuti les mata pelajaran, keterampilan, atau kesenian usai mengikuti jam sekolah. Mereka merasa hal-hal tersebut tidak cukup diberikan di sekolah. "Karena itu, kebijakan Mendikbud itu diharapkan dapat mengatasi persoalan-persoalan tersebut dengan memaksimalkan peran guru, tenaga kependidikan, dan kerja sama antara sekolah dengan masyarakat," tutur Mu'ti.