REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Hafil/ Wartawan Republika.co.id
Pukul 04.15 WIB, Sabtu (27/5), puluhan orang sudah ‘mengular’ di depan loket pendaftaran RS Tugu Ibu, Kota Depok, Jawa Barat. Pagi itu adalah hari pertama puasa di bulan Ramadhan 2017. Mereka adalah para peserta BPJS Kesehatan yang mengawalkan sahurnya di rumah demi mendapat nomor antrean pasien dokter syaraf dan terapi syaraf di rumah sakit tersebut.
Jadwal praktik dokter pada hari itu pukul 09.00 WIB. Namun pihak RS telah membuka pendaftaran pada pukul 04.30 WIB. Tak ada saling berebut dalam antrean. Semuanya berbaris teratur karena setiap pengantre yang baru datang selalu menanyakan kepada yang sudah lebih dulu datang dengan pertanyaaan; “Siapa yang terakhir?”
Dengan begitu, ketika petugas sudah membuka loket pendaftaran pada pukul 04.30 WIB, maka semua berdiri di belakang pengantre yang terakhir. Antrean yang tertib pun terwujud.
Bahkan, mereka sudah mengenal satu sama lain. Saling bercanda, bertegur sapa, dan menanyakan kabar kesehatannya. Ini karena mereka sering bertemu saat mengantre di loket pendaftaran maupun saat menunggu panggilan dokter. Suasana keakraban dan gotong royong terbangun sesama mereka.
“Ya, orang sering ketemu, gimana gak akrab,” kata Suwardi (50 tahun), salah satu pengantre.
Suwardi (45 tahun) adalah peserta BPJS Kesehatan bersama kedua orang tuanya yang sudah sepuh. Selama dua kali dalam sepekan, dia mengantre untuk mendaftarkan bapak dan ibunya yang mengikuti terapi syaraf pascaserangan stroke.
Suwardi merasakan betul manfaat mengikuti BPJS Kesehatan. Karena, dia dan keluarganya tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk pengobatan orang tuanya.
“Alhamdulillah dengan BPJS Kesehatan, kita tidak perlu lagi mengeluarkan biaya pengobatan hingga puluhan juta rupiah. Karena dengan membayar Rp 25.500 per bulan masing-masing untuk ibu dan bapak saya, mereka bisa mendapatkan pengobatan yang maksimal dari rumah sakit,” kata Suwardi.
Suwardi dan orang tuanya ikut program BPJS Kesehatan kelas tiga. Di mana, untuk setiap peserta diwajibkan membayar iuran Rp 25.500 setiap bulan.
Berdasarkan pengalamannya sebelum ikut BPJS Kesehatan, keluarganya harus mengeluarkan uang hingga puluhan juta untuk biaya pengobatan dan perawatan orang tuanya. “Makanya, kita sangat terbantu dengan adanya BPJS Kesehatan ini,” kata Suwardi.
Sedangkan Fardis Amir (66), pasien RS Tugu Ibu lainnya, juga merasakan manfaat yang sama. Dengan mengikuti BPJS Kesehatan di kelas dua, dia tidak khawatir dengan biaya perawatan dan pemulihan kesehatannya. Dua bulan lalu, Fardis menderita empat penyakit sekaligus. Yakni, diabetes (ditangani dokter penyakit dalam), luka diabetes (dokter bedah), TBC (dokter paru), dan penyempitan syaraf (dokter syaraf).
“Saya dirawat hingga 10 hari. Dan, keempat penyakit itu ditangani sekaligus,” kata Fardis.
Sekarang, dia mengikuti program pemulihan kesehatannya. Di mana, dia harus mengikuti jadwal kontrol oleh keempat dokter bersangkutan. “Alhamdulillah, seluruh biayanya sudah dicover BPJS,” kata Fardis.
Kepala BPJS Kesehatan Kota Depok, Nurifansyah mengatakan, yang dirasakan oleh Suwardi maupun Fardis Amir adalah manfaat dari hasil mekanisme kolektif (gotong royong) masyarakat Indonesia dalam pembiayaan pelayanan kesehatan.
“Jadi, kalau masyarakat yang menjadi peserta jaminan kesehatan nasional (JKN) , maka resiko finansial akibat penyakit terlindungi oleh program BPJS Kesehatan,” kata Nurifansyah kepada Republika.co.id, Senin (19/6).
Adapun bentuk nyata gotong royong itu adalah menjadi peserta BPJS Kesehatan dan membayar iuran secara rutin. Dengan membayar iuran rutin itu, maka peserta telah berkontribusi dalam memberikan subsidi bagi peserta lain yang sedang sakit dan membutuhkan biaya pengobatan.
Misalnya, contoh subsidi biaya pengobatan di kelas tiga. Dengan iuran Rp 25.500 per bulan, maka peserta yang sakit bisa berobat ke dokter umum yang biaya mencapai lebih dari Rp 250 ribu. Maka, biaya pengobatannya disubsidi oleh 10 orang peserta yang sehat. “Itu baru sekali berobat,” kata Nurifansyah.
Jika dia harus dirujuk ke dokter spesialis, biaya yang dibutuhkan Rp 500 ribu lebih. Maka, biaya pengobatannya dibantu oleh 20 peserta yang sehat. Jika peserta dirawat dan membutuhkan biaya Rp 5 juta, maka biaya pengobatannya dibantu oleh sekitar 200 peserta lain yang sehat.
Jika peserta harus dioperasi dan biaya yang dibutuhkan Rp 50 juta. Maka, ada dua ribu peserta sehat lainnya yang membantu biaya pengobatannya. “Artinya, masyarakat yang menjadi peserta BPJS Kesehatan harus memahami uang yang dia keluarkan Rp 25.500 per bulan tidak ada maknanya jika berdiri sendiri. Ini yang namanya gotong royong, makanya iuran peserta sangat dibutuhkan,” kata Nurifansyah.
Tidak hanya soal biaya, namun juga penyakit-penyakit yang diderita oleh peserta juga ditanggung. Karena, pelayanan yang diberikan kepada peserta adalah masalah kesehatan yang layak.
“Jadi kebutuhan dasar kesehatan itu ya permasalahan kesehatan. Jika ada penyakit ditubuhnya maka harus diobati. Kalau ada 10 macam penyakit ya harus diobati secara medis dan ditanggung semua. Kecuali penyakit-penyakit yang dibuat-buat seperti narkoba atau mabuk-mabukan,” kata Nurifansyah.
Karena itulah, selain berpesan soal pentingnya membayar iuran setiap bulan, Nurifansyah juga berharap seluruh masyarakat Indonesia, tidak hanya di Kota Depok, untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan. Di Kota Depok sendiri, hingga 9 Juni 2017, sudah ada 1.070.000 peserta dari 1,8 juta warga. Sedangkan secara nasional, BPJS Kesehatan menargetkan 201 juta peserta dari 250 juta lebih penduduk Indonesia pada akhir tahun ini.
“Yang harus dipikirkan soal ikut BPJS Kesehatan ini adlaah selain untuk melindungi diri sendiri, tapi juga menjadi warga negara yang bergotong royong. Sedia payung sebelum hujan, sedia kartu BPJS Kesehatan sebelum sakit,” kata Nurifansyah.