REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil Rapat Panitia Kerja Harmonisasi Badan Legislasi (Baleg) mengusulkan dihilangkannya pasal larangan iklan rokok dari Rancangan Undang-Undang Penyiaran. Namun, Komisi I DPR pada draf DPR 6 Februari 2017 (sebelum diajukan ke Baleg) telah memuat ketentuan tentang larangan iklan rokok dan zat adiktif lainnya.
Komnas Pengendalian Tembakau mengapresiasi draf DPR tersebut dan tidak menyetujui usulan Baleg yang merekomendasikan agar iklan rokok tidak dilarang, tetapi diatur dengan pembatasan. "Rekomendasi ini sangat meresahkan, mengingat iklan adalah salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada peningkatan prevalensi perokok, terutama pada anak-anak dan remaja. Dengan menetapkan ketentuan larangan iklan rokok, Komisi I DPR RI telah memberikan perlindungan kepada anak dan remaja," kata anggota Dewan Pengurus Bidang Hukum Komnas Pengendalian Tembakau Muhamad Joni.
Menurut dia, yang selama ini menjadi sasaran utama iklan dan promosi rokok, adalah remaja dan anak-anak untuk menjadikan mereka kelompok rentan sebagai perokok pengganti. Jika larangan iklan rokok diberlakukan, berarti DPR telah melakukan upaya perlindungan masyarakat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh negara-negara ASEAN lainnya, serta 144 negara di dunia, yang telah menetapkan larangan iklan rokok di media penyiaran.
Komnas Pengendalian Tembakau mengecam Baleg DPR yang justru merekomendasikan ketentuan larangan iklan rokok tersebut dihilangkan, lalu tetap memperbolehkan iklan rokok dengan cukup membatasi jam siaran. "Harus dipertanyakan, mengapa Baleg selalu merekomendasikan hal yang sama , yakni tetap ingin iklan rokok tetap ada. Pada proses penyusunan revisi UU Penyiaran pada DPR periode lalu, preseden yang sama terjadi. Draf DPR menetapkan larangan iklan rokok, sementara diubah dalam proses di Baleg menjadi iklan rokok tetap dibolehkan," ucap Joni.
Ia mempertanyakan, apa motivasi dan kepentingan anggota Baleg DPR dalam hal tersebut. Menurut dia, dalam hal pemenuhan hak kesehatan sebagai hak asasi manusia, seharusnya dilakukan dengan dua syarat progressively dan upaya full achievement. "Karena itu, larangan iklan rokok justru untuk memastikan hak konstitusi rakyat atas kesehatan dan pemenuhan HAM yang merupakan tanggung jawab negara, termasuk legislatif dan terutama Pemerintah," ujar dia.
Kampanye atau pemasaran produk rokok dalam iklan-iklannya yang masih menyasar anak-anak dan remaja, berdampak pada peningkatan prevalensi perokok anak dan remaja secara signifikan, bahkan peningkatannya melebihi angka perokok dewasa. Perokok anak dan remaja saat ini adalah pelanggan jangka panjang produk rokok. Untuk itu, tayangan iklan, sponsor, dan promosi rokok dalam bentuk apapun harus dilarang total di mana pun, termasuk di media-media penyiaran.
Masyarakat, termasuk anak-anak, sangat mudah terpapar iklan rokok di media penyiaran, terutama televisi, meskipun ada pembatasan jam tayang. Pada 2007, 97 persen anak mengaku melihat iklan rokok di televisi berdasarkan studi UHAMKA dan Komnas Perlindungan Anak, dan 90 persen anak usia 13 - 15 tahun pada 2009 berdasarkan Global Youth Tobacco Survey.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan usulan Baleg DPR tersebut sama dengan yang diajukan oleh Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), yang diungkapkan secara terang-terangan dalam siaran pers mereka pada 4 Mei 2017 lalu. "Kami menilai, rekomendasi Baleg DPR tersebut lebih didasari oleh kepentingan industri, dengan mengabaikan visi perlindungan anak dan remaja yang harus dijaga," ujar Tulus dalam konferensi pers di Kantor PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jakarta Pusat, Kamis (15/6).
Karena itu, Komnas Pengendalian Tembakau meminta Komisi I DPR RI untuk tidak menerima rekomendasi Baleg yang menginginkan dihapuskannya ketentuan larangan iklan rokok tersebut. Jika menerima, maka Komisi I DPR RI bersama-sama Baleg DPR dan industri penyiaran jelas tidak peduli pada perlindungan anak dan remaja.