Kamis 15 Jun 2017 00:05 WIB

Mencegah Dampak Negatif Media Sosial pada Anak

Arbaiyah Satriani, Dosen Fikom Unisba
Foto: dok. Pribadi
Arbaiyah Satriani, Dosen Fikom Unisba

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arba’iyah Satriani *)

Di masa lalu, media massa adalah medium yang hanya dikonsumsi oleh orang dewasa. Namun, saat ini, bahkan anak di bawah lima tahun (balita) sudah dapat mengakses media, baik itu media massa maupun media sosial. Perkembangan internet yang sangat pesat telah memudahkan kita dalam mengakses informasi dari berbagai sumber.

 

Kehadiran internet membuat kita lebih mudah terhubung dengan siapapun di belahan bumi manapun. Dengan menggeser jari di layar telepon, kita bisa melakukan banyak aktivitas tanpa harus keluar rumah, seperti berbelanja online, membayar tagihan listrik online, memesan tiket pesawat atau kereta api hingga membayar pajak. Dengan kata lain internet membantu kita mengefisienkan waktu.

 

Namun di sisi lain, aktivitas di dunia maya bisa membawa dampak buruk juga khususnya bagi anak-anak dan remaja. Mereka yang kecanduan dengan dunia maya melalui gawai yang dimilikinya, kerap menjadi orang yang asosial (terputus kontak dengan lingkungan sekitar). Selain itu, jika terlalu lama di depan layar pun dapat merusak mata sehingga fisik kita baik mata maupun tubuh secara keseluruhan menjadi terganggu.

 

Ciri kemakmuran

 

Situasi seperti di atas bisa terjadi salah satunya karena harga telepon seluler (ponsel) alias handphone yang semakin hari semakin murah sementara aplikasinya semakin canggih. Ditambah dengan banyaknya penawaran internet murah dari operator seluler. Kedua faktor ini menyebabkan banyak orang dapat mengakses internet melalui ponsel secara sangat mudah. Tak hanya dialami para orang dewasa atau orang tua yang bisa mengakses internet mudah ini tetapi juga anak-anak dan remaja.

 

Karena itu tak heran jika saat ini kita dapat dengan mudah melihat anak-anak sekolah yang duduk di bangku sekolah dasar membawa ponsel miliknya sendiri. Selain karena alasan orang tua yang ingin memantau keberadaan anak-anak mereka – apakah benar ada di sekolah pada jam sekolah, apakah mereka les di tempat yang ditentukan dst – juga karena gaya hidup masa kini.

 

Ponsel sudah menjadi bagian dari gaya hidup orang Indonesia, tua maupun muda. Karenanya, membelikan anak-anak ponsel sendiri seringkali dianggap sebagai suatu yang wajib bagi para orangtua. Meskipun harga ponsel semakin murah tetapi ponsel tetap menjadi salah satu indikator kemakmuran di kalangan masyarakat kita. Tak heran jika membelikan ponsel untuk anak-anak, dianggap sebagian kalangan sebagai suatu ciri keberhasilan secara finansial.

 

Tentu saja, kita tidak bisa melakukan generalisasi kepada para orang tua yang membelikan ponsel kepada anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Namun, yang perlu diingat adalah dampak buruk yang mungkin timbul akibat kepemilikan ponsel tersebut bagi anak-anak. Fitur-fitur seperti BBM, Whatsapp, Line yang dianggap sebagai sarana yang murah dan kekinian untuk berkomunikasi, diharuskan terhubung dengan koneksi internet untuk menggunakannya. Sementara di dunia maya, melalui internet, kita dapat memperoleh apapun yang kita inginkan hanya dengan mengetikkan kata-kata. Inilah letak bahayanya.

 

Seorang pakar di klinik rehabilitasi di Inggris, Mandy Saligari seperti dikutip situs www.independent.co.ik mengungkapkan bahwa banyak orang tua menyepelekan bahaya ponsel pintar bagi anak-anak. Padahal kata dia dalam sebuah konferensi pendidikan di London, menghabiskan waktu berlama-lama untuk saling berkirim pesan dengan teman melalui Snapchat dan Instagram bisa sama bahayanya dengan mengonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang.

 

Faktanya, saat anak-anak tersebut sibuk di luar rumah, pagi sekolah kemudian les hingga menjelang magrib lalu tiba di rumah harus belajar dan mempersiapkan diri untuk keesokan harinya, kemungkinan teman karib mereka hanyalah ponsel tersebut. Anak-anak itu akan bermain games melalui ponsel mereka atau sekadar berselancar di dunia maya. Ketika anak-anak sudah memegang ponsel, mereka akan sibuk dengan dunianya sendiri, tak ingin berinteraksi langsung dengan orang-orang di sekitarnya dan malas untuk melakukan hal lain.

 

Para orang tua, harus mewaspadai situasi seperti ini. Pasalnya, sudah banyak penelitian yang menunjukkan dampak buruk penggunaan media sosial maupun internet pada anak-anak dan remaja. Saatnya orangtua mengambil peran lebih besar untuk mencegah dampak buruk tersebut. Karena anak adalah amanah Allah SWT kepada para orang tuanya. Karena itu, anak-anak tersebut harus dijaga dengan baik serta dididik sesuai aturan agama dan norma yang berlaku.

 

Intensifkan komunikasi

 

Langkah pertama yang bisa dilakukan para orangtua adalah mengurangi kesibukan di luar rumah dan lebih mengintensifkan komunikasi di dalam keluarga, khususnya dengan anak-anak. Memang benar, kehadiran ponsel telah membantu proses komunikasi bagi orangtua yang sibuk. Namun anak-anak membutuhkan kehadiran orangtua secara fisik. Mereka suka dipeluk, dicium dan dibelai orang tuanya. Sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh ponsel mereka – semahal apapun harganya dan secanggih apapun fiturnya.

 

Jika orangtua sibuk dengan pekerjaannya,langkah berikut yang bisa dilakukan adalah berbagi tugas antara ayah dan ibu. Hal ini tentu tidak mudah. Namun jika orang tua menjadikan kegiatan dan kebutuhan anak-anak sebagai prioritas orangtuanya maka hal tersebut akan mempermudah. Misalnya, jika di akhir pekan biasanya para orangtua ingin bersosialisasi dengan teman-temannya, bawalah anak-anak. Repot dan tidak asyik? Mungkin iya, tapi sadarilah bahwa anak-anak adalah tanggung jawab orang tuanya sementara bersosialisasi meskipun juga penting karena bagian dari silaturahim, bisa diatur jadwalnya.

 

Langkah ketiga, jika penggunaan ponsel bagi anak-anak masih bisa diminimalisasi, jangan berikan ponsel pada anak. Kalau mereka sudah berusia remaja, mungkin bisa dipertimbangkan penggunaannya dengan aturan-aturan yang moderat. Namun jika anak masih duduk di bangku TK atau SD, pertimbangkan lagi untuk memberikan ponsel dengan alasan apapun. Jika tetap harus memberikan ponsel pada anak, ada baiknya ponsel tersebut tidak bisa mengakses internet dengan mudah. Karena keterhubungan dengan internet inilah yang membuat anak betah berlama-lama bermain ponsel.

 

Kemudian langkah keempat adalah memperkenalkan pada anak bahaya internet maupun media sosial dan media massa yang diakses secara berlebihan. Mungkin, orang tua berpikir bahwa lebih baik anak menonton televisi ketimbang bermain ponsel. Namun harus pula disadari bahwa acara televisi tak semuanya boleh ditonton oleh anak-anak. Selayaknya anak-anak didampingi saat menonton televisi – sebagai pengganti kegiatan mereka berponsel. Karena menonton televisi terus-menerus juga menyebabkan anak-anak bisa terpapar tayangan televisi- yang kebanyakan isinya pun kurang mendidik.  Di sisi lain, daya tarik televisi pun sama kuatnya dengan daya tarik ponsel yang canggih.

 

Langkah kelima adalah menanamkan pendidikan agama yang baik sekaligus memberikan contoh penerapan ajaran agama tersebut. Anak-anak lebih mudah mencontoh tindakan yang baik ketimbang wejangan yang panjang lebar. Jadi, orangtua harus memberikan contoh terbaik dari penerapan ajaran agama.

 

Intinya, orang tua mempunyai peran yang sangat luar biasa dalam mendidik anak-anak di rumah. Saat di sekolah, anak-anak menjadi tanggung jawab para gurunya. Namun di luar sekolah, di manapun anak-anak itu berada, adalah tanggung jawab para orang tua sehingga peran keluarga dalam pendidikan anak haruslah diperkuat mulai saat ini. Karena itu memastikan mereka aman dari berbagai gangguan atau potensi gangguan, juga menjadi tanggung jawab orang tua. Memang tugas tersebut tetapi jika orang tua  ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi yang kuat, mandiri dan bertakwa, orangtua harus menanam investasi sejak dini.

 

*) Dosen Fikom Universitas Islam Bandung

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement