REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Peluh membasahi tubuh Pak Kus yang menahan panas dari tungku membara pada awal Juni 2017. Imannya seperti diuji untuk tetap berpuasa Ramadhan saat bekerja mencetak ribuan sendok aluminium secara manual. Musim kemarau saat ini membuat panas tungku dirasakan menjadi lebih luar biasa.
"Insya Allah saya bisa terus puasa," katanya.
Tangannya terlihat cekatan ketika mengambil aluminium cair yang mendidih dari tungku dan mengalirkannya ke pencetak dari besi. Itu suatu cara kerja yang tradisional, tanpa ada mesin, dan hanya mengandalkan angin alam untuk mendinginkan badannya yang kurus akan tetapi berotot. Di sebelah kirinya sudah ada tumpukan sendok hasil kerjanya sejak pagi.
Pak Kus sudah puluhan tahun menjadi perajin sendok sebagai pilihan hidupnya dengan upah Rp 100 ribu per hari. Sekali bekerja dalam sehari ia bisa mencetak lebih dari 1.000 sendok. "Tinggal saya satu-satunya orang Pekanbaru yang mau bekerja seperti ini. Kerja ini sangat berat, saya sampai tidak punya lagi bulu mata dan sebelah mata saya harus dioperasi karena terkena panasnya tungku," kata pria berusia 50 tahun itu sambil tersenyum.
Ketika azan zuhur berkumandang, Pak Kus menghentikan kerjanya untuk beristirahat. Ia membersihkan debu hitam sisa pembakaran tungku yang melekat di badannya dan mengambil air wudhu. Ia menunaikan shalat di gudang penyimpanan sendok dengan dikelilingi tumpukan karyanya yang akan dijual.
Pak Kus bekerja di sebuah industri rumah tangga sendok aluminium di Jalan Handayani Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru. Tempat itu adalah usaha kerajinan sendok aluminium satu-satunya yang masih tersisa di Kota Pekanbaru. Pemilik usaha itu adalah lelaki bernama Yansen. Ia perajin dan juga pengusaha yang menjadi saksi hidup jatuh bangun kerajinan sendok aluminium di "Kota Bertuah" tersebut.
Pria berumur 62 tahun itu menjalankan usaha kerajinan sendok di samping rumahnya dengan dibantu istri, anak, dan dua pekerja. Proses pembuatan dimulai dengan mencetak aluminium panas yang dicairkan untuk menjadi sendok, kemudian dihaluskan agar mengilat, dan dipasang tangkai kayu.
"Meski sudah tua begini saya tetap membantu. Waktu Bulan Puasa saya sering mulai kerja setelah sahur," kata Yansen.
Usaha kerajinan itu memproduksi sendok sayur, sendok untuk menggoreng, dan sendok nasi. Dahulu, perajin juga pernah membuat sendok teh dan sendok makan, namun kini kalah bersaing dengan produk pabrik dan masuknya sendok impor. Dalam sebulan, perajin sendok itu bisa memproduksi 2.880 lusin dengan omzet sekitar Rp 2,5 juta sehari.
Produk sendok tersebut menjangkau pasar di Riau, seperti Kota Pekanbaru, Tembilahan, hingga Kota Bukittinggi dan Padang Panjang di Sumatera Barat, serta Kota Tanjung Pinang dan Batam di Kepulauan Riau.
"Dulu ada tujuh perajin sendok dan peralatan makan, mulai dari industri rumah tangga sampai skala menengah. Sekarang di Riau ini, tinggal saya sendiri," kata Yansen.
Usaha kerajinan membuat alat makan dan sendok dari bahan aluminium mulai merebak di Pekanbaru pada dekade 1960-1970. Yansen saat muda merantau ke Pekanbaru dari Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat, dan menjadi pekerja di sebuah pabrik alat makan cukup besar di Jalan Sutomo.
Pada sekitar 1980, Yansen memberanikan diri membuka usaha sendiri dan bertahan sampai sekarang. "Kalau dibilang tidak sukses, ya tidak juga. Sekarang saya punya rumah, tanah, dua mobil 'pickup' dan motor dari usaha ini. Lima anak saya bisa sekolah sampai ada yang ke universitas juga dari usaha sendok ini," kata pria yang tidak lulus Sekolah Dasar itu.
Kerajinan sendok aluminium di Pekanbaru umumnya adalah usaha keluarga. Namun, hampir semuanya tidak bisa bertahan sampai generasi kedua ketika pemiliknya meninggal dunia. "Banyak yang tutup rata-rata karena tidak ada penerus. Kalau yang punya meninggal, anaknya tidak meneruskannya lagi," katanya.