Rabu 14 Jun 2017 01:00 WIB

Peran Pajak dan Zakat di Tengah Ketimpangan Ekonomi

Karsino Ak. M.Si
Foto: dok. Pribadi
Karsino Ak. M.Si

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karsino Ak MSi *)

Kemiskinan merupakan masalah kronis yang tak kunjung tuntas dari generasi ke generasi. Seolah sudah menjadi suratan takdir, kaum papa akan selalu ada meski sebagus apapun perekonomian suatu negara dicitrakan.

Badan Pusat Statistik (BPS) melansir jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga September 2016 turun menjadi 27,76 juta orang (10,7 persen) jika dibandingkan dengan posisi Maret 2016 yang mencapai 28,01 juta orang (10,86 persen).

Namun, catatan tersebut masih dibayang-bayangi oleh tingginya tingkat ketimpangan kesejahteraan hidup antara Si Kaya dan Si Miskin. Jurang pemisah keduanya semakin lebar seiring dengan penumpukan kekayaan oleh segelintir miliuner. Buktinya, koefisien Gini (Gini Ratio) Indonesia masih berkutat di level 0,394 per September 2016 atau hanya turun 0,03 dari posisi Maret 2016 (0,397).

Gini ratio adalah indikator ketimpangan pendapatan yang kisaran angkanya mulai dari 0 (nol) hingga 1 (satu). Semakin mendekati nol, maka semakin baik atau menunjukkan pemerataan sempurna. Sebaliknya semakin mendekati 1, maka pendapatan semakin timpang atau tidak merata.

Banyak pihak menganggap bahwa kemiskinan merupakan bukti dari ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi. Tak ada yang salah dengan anggapan itu karena faktanya memang demikian. Hukum pasar menyebabkan distribusi ekonomi tak merata.  

Namun, jika dilihat dari sudut pandang lain, keberadaan Si Miskin dan Si Kaya ibarat dua sisi mata uang yang (harusnya) saling melengkapi. Keduanya hadir dalam kondisi ekonomi yang bertolak jauh, tetapi ada semacam magnet yang saling menarik satu sama lain agar saling berinteraksi.

 

Adalah Pajak dan Zakat yang antara lain menjadi instrumen perekat hubungan Si Kaya dan Si Miskin dalam konteks bernegara sekaligus beragama (Islam). Meskipun landasannya berbeda, tetapi masing-masing memiliki tujuan mulia yang hampir sama, yakni fokus pada pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Menilik sejarah Islam di zaman Nabi Muhammad SAW dan kilafah, Zakat merupakan satu-satunya sistem perpajakan yang melekat kepada setiap muslim selain Jizyah (pajak perkapita) dan Kharaj (pajak atas tanah). Jizyah dan Kharaj dipungut dari umat non-muslim di bawah peraturan Islam.

Praktiknya dewasa ini kemudian beririsan dengan sistem perpajakan modern, di mana negara menerapkan pajak dengan tarif yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar zakat. Jenis pajak pun lebih beragam dibandingkan Zakat, dengan metode pemungutan dan peruntukkannya yang juga berbeda.

Zakat merupakan bagian dari rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu secara ekonomi atau memenuhi syarat (Muzakki). Penyaluran Zakat hanya untuk kepentingan yang delapan golongan umat yang berhak (Mustahik). Yakni kaum fakir, miskin, Amil, Muallaf (orang yang baru memeluk Islam), Riqab (budak atau hamba sahaya), Gharimin (orang yang berutang dan sulit membayar), Fisabilillah (orang atau lembaga yang berjuang atas nama Allah), dan Ibnu Sabil (musafir atau pengembara). Sedangkan Pajak merupakan pungutan yang dikenakan pemerintah kepada setiap Wajib Pajak guna membiayai seluruh sektor kehidupan dan bernegara.

Beban ganda

Pengenaan Zakat dan Pajak atas objek yang sama—harta atau penghasilan—masih menjadi perdebatan panjang di kalangan muslim, bahkan sampai saat ini. Ada yang menganggap Zakat dan Pajak bisa saling menggugurkan, sehingga kalau sudah bayar pajak tidak seharusnya lagi bayar Zakat atau sebaliknya.  Padahal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah lama berfatwa bahwa Zakat tetap wajib hukumnya bagi setiap muslim meskipun sudah ada pajak.

 

Jenis Zakat                                                        Kadar

Zakat Fitrah (makanan pokok)                      2,5 kg / 3,5 liter

Zakat Maal (harta benda)

Zakat perusahaan                                      2,5%

Zakat penghasilan/profesi                            2,5%

Zakat emas, perak, dan uang simpanan          2,5%

Zakat peternakan                                      Tergantung jenis hewan

Zakat pertanian dan perkebunan (Ziroh)         5-10%

Zakat kekayaan dagang (Tijaroh)                  2,5%

Zakat investasi (Almustaghillat)                    2,5%

Zakat hadiah dan barang temuan (Rikaz)        20%

Zakat barang tambang (Ma’adin)                   2,5%

(Sumber: Badan Amil Zakat Nasionas)

Namun untuk menghindari beban ganda serta memperhatikan keadilan umat beragama lain, pemerintah dan DPR bersepakat untuk mengecualikan zakat dan sumbangan keagamaan lain sebagai objek pajak bagi penerimanya (mustahik). Selain itu, zakat dan sumbangan keagamaan lain yang sifatnya wajib juga ditetapkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak bagi pembayarnya (muzakki).

Meski demikian, semua itu belum memuaskan semua pihak, terutama bagi yang menuntut agar Zakat ditetapkan sebagai pengurang pajak seperti halnya yang berlaku di Malaysia. Antara lain tuntutan datang dari Provinsi Aceh, yang diberikan hak otonomi khusus melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam UUPA disebutkan bahwa zakat merupakan bagian dari penerimaan asli daerah (PAD) yang menjadi faktor pengurang pajak penghasilan.

Di tengah rencana pemerintah merevisi paket UU perpajakan, yang salah satunya UU PPh, desakan agar zakat dijadikan faktor pengurang pajak kembali mengemuka. Namun, seprtinya sulit terwujud mengingat agama yang berlaku di Indonesia  bukan hanya Islam. Selain itu, kewajibaan masing-masing agama berbeda terkait dengan sumbangan. Contohnya Islam mewajibkan Zakat dengan kadar rata-rata 2,5%, sedangkan agama lain mewajibkan pula sumbangan dengan kadar yang berbeda-beda.

Realisasi Rendah

Potensi zakat di Indonesia sebenarnya cukup besar jika dilihat dari jumlah penduduk muslim. Namun realisasinya belum seperti yang diharapkan.

Berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah umat Islam di Indonesia mencapai 216,66 juta jiwa atau sekitar 85 persen dari total penduduk (hasil survei tahun 2015).

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) mencatat, rata-rata pertumbuhan Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS) per tahun lebih dari 20% atau jauh di atas pertumbuhan PDB yang rata-rata hanya berkisar 5% per tahun. Zakat selama ini menyumbang lebih dari 60% ZIS.

Jumlah Penghimpunan Zakat, Infaq, Sedekah di Indonesia

Tahun       Rupiah (miliar)          Pertumbuhan (%)        Pertumbuhan PDB (%)

2002          6.839                                                         3,7

2003          8.528                       24,7                            4,1

2004         15.009                       76,0                            5,1

2005         29.552                       96,9                            5,7

2006         37.317                       26,3                            5,5

2007             740                      -98,0                            6,3

2008             920                       24,3                            6,2

2009          1.200                       30,4                             4,9

2010          1.500                       25,0                             6,1

2011          1.729                       15,3                             6,5

2012          2.200                       27,2                             6,2

2013          2.700                       22,7                             5,8

2014          3.300                       22,2                             5,0

2015          3.700                       12,1                             4,8

(Sumber: Badan Amil Zakat Nasional, 2016)

 

Meski pertumbuhannya signifikan, namun realisasi penghimpunan zakat masih sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi pembayar zakat yang cukup besar. Pada tahun 2015, Baznas memproyeksi potensi zakat nasional mencapai Rp 286 triliun, tetapi  yang terhimpun sebesar Rp 3,7 triliun atau baru 1,3 persen dari potensinya.

Angka-angka tersebut bisa jadi belum mencerminkan realiasi pembayaran Zakat yang sesungguhnya. Ada sejumlah faktor yang juga harus dipertimbangkan terkait masih rendahnya pembayaran Zakat di Indonesia. Pertama, bisa karena faktor menghindari beban ganda pemajakan. Kedua, masih kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga Amil Zakat. Ketiga, banyak Muzakki yang mungkin memilih untuk menyalurkan zakat secara langsung kepada Mustahik tanpa perantara Amil. Keempat, rendahnya kepatuhan Muslim karena kurangnya pemahaman mengenai cara menunaikan Zakat.

Pada hakekatnya, zakat dan pajak sama-sama penting dan memiliki peran strategis mengatasi kesenjangan ekonomi dan kemiskinan suatu negara. Terutama bagi Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.

Dalam konteks bernegara, sudah merupakan kewajiban bagi setiap warga negara untuk membayar pajak. Sedangkan dalam konteks beragama, tak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak membayar zakat, terlebih semua yang didermakannya dapat mengurangi penghasilan kena pajak. Yakinlah, zakat dan pajak tak akan membuat pembayarnya miskin, justru akan membantu banyak orang keluar dari kemiskinan. 

 

*) Praktisi pajak dan mantan fiskus yang kini menjabat sebagai Direktur MUC Tax Research Institute, lembaga nirlaba yang fokus pada studi dan penelitian di bidang perpajakan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement