REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi memberlakukan kebijakan lima hari sekolah dalam sepekan menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Termasuk dari pimpinan Komisi X DPR RI Sutan Adil Hendra yang mengatakan, perubahan jam pelajaran sekolah tersebut semestinya tidak dijadikan prioritas pemerintah.
"Kebutuhan mereformasi dunia pendidikan saat ini bukanlah dengan merombak jam belajar siswa, namun pemerintah harus lebih fokus pada pengajaran di sekolah, kesejahteraan guru dan sarana prasarana yang memadai," ucap Sutan di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (13/06).
Menurutnya, kebijakan perubahan jam pelajaran sekolah tersebut jauh dari rasa adil dan kurang memahami kondisi yang ada di daerah. Dia menyarankan pemerintah bersikap adil terhadap situasi daerah dan kondisi di sekolah, bagaimana kesiapan sekolah dan guru yang ada di pedalaman. "Kebijakan ini cenderung mengabaikan kultur pendidikan informal dan keagamaan yang ada di Indonesia,” ujarnya.
Sutan mengatakan masih banyak anak-anak yang belajar di madrasah atau mengaji di mesjid, mushola ataupun dengan ustadz, sebagai imbangan antara ilmu agama dan ilmu umum. Ia juga meminta agar pemerintah mempertimbangkan peningkatan pengeluaran orang tua untuk uang saku anak mereka di sekolah.
Menurut dia, karena masa belajar yang lebih lama, kebutuhan uang saku anak juga akan lebih besar. Selain itu, sarana dan prasarana di sekolah juga perlu diperhatikan, mengingat masih banyak sekolah yang belum memadai. Pemerintah, kata dia, diharap tidak menyamakan fasilitas ataupun sarana prasarana antara sekolah yang diperkotaan dengan sekolah yang ada di pedalaman. “Pemerintah harus mengkaji dari berbagai aspek secara jernih dan melihat dalam kacamata daerah,” tegasnya.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Muhammad Sulton Fatoni juga mengatakan kebijakan sekolah lima hari sepekan mengabaikan sejarah dan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia. Menurut Sulton, kebijakan ini akan memaksakan anak-anak berada di sekolah selama delapan jam atau full day school. Padahal, kata dia, full day school yang sejak lama digagas dan mendapatkan penolakan dari masyarakat muslim di Indonesia.
"Jika tetap dilaksanakan mulai tahun ajaran baru, ini bentuk kebijakan yang tidak aspiratif, menang-menangan, sekehendaknya sendiri," kata Sulton kepada Republika melalui keterangan tertulisnya, Senin (11/6). Sulton juga menilai, full day school berpotensi menjadi proses pendangkalan ajaran Islam. Sebab, kebijakan ini menjauhkan peserta didik dari lembaga-lembaga keagamaan yang berkualitas di daerahnya masing-masing.
Dia pun mendorong pemerintah menyudahi tradisi buruk mengutak-atik sesuatu yang tidak substansial. Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi secara berkala dalam kurun waktu yang ideal. "PBNU tetap tidak setuju konsep full day school dan jika dipaksakan maka Ketua Umum PBNU akan menghadap langsung ke Pak Presiden untuk menyampaikan ketidaksetujuan hal ini," ujar Sulton.