Selasa 13 Jun 2017 04:00 WIB

Hakikat Orang Berpengetahuan

Winny Gunarti
Foto: dok Winny Gunarti
Winny Gunarti

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Dr Winny Gunarti *)

Ada sepenggal paragraf yang menggelitik dalam sebuah buku lama berjudul Filsafat Ilmu karya Jujun S Suriasumantri (1988:19). Tulisan yang dikemas sebagai sebuah pengantar populer itu berbunyi begini:

Alkisah bertanyalah seorang awam kepada ahli filsafat yang arif bijaksana, “Coba sebutkan kepada saya berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya!” Filsuf itu menarik napas panjang dan berpantun:

Ada orang yang tahu di tahunya

Ada orang yang tahu di tidaktahunya

Ada orang yang tidak tahu di tahunya

Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya

Pantun filsuf di atas kalau boleh diterjemahkan dalam bahasa populer adalah sebagai berikut: ada orang yang paham sesuai ilmunya, ada orang yang merasa paham padahal tidak berilmu atau ilmunya keliru, ada orang yang gagal paham dengan keilmuannya, dan ada orang yang gagal paham karena kurang berilmu.

 

Paragraf di atas pun menimbulkan pertanyaan, apakah ini yang dimaksud dengan jenis orang yang “berpengetahuan” dan orang-orang yang “sok berpengetahuan” alias “sok tahu” di dalam kelompok masyarakat?

Orang disebut berilmu ketika orang tersebut dianggap memiliki pengetahuan.

Makna pengetahuan di sini sangatlah tidak terbatas. Karena pengetahuan dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal, melalui pergaulan, melalui bacaan, melalui diskusi, melalui kajian penelitian, melalui perjalanan, melalui berbagai pengalaman hidup, termasuk melalui browsing berita-berita ataupun informasi lainnya di internet, hingga orang mampu menjelajahi ruang dan waktu dalam dunianya yang dilipat, yaitu sebuah dunia yang melahirkan dirkursus-diskursus, sebuah cara menghasilkan pengetahuan, lengkap dengan berbagai praktik sosial, bentuk subjektivitas, relasi kekuasaan, dan kesalingberkaitan di antara semua aspeknya (Piliang, 2010:20).

Sering kali, “pengetahuan” yang telah didapat melalui berbagai sumber itu menjadikan seseorang merasa paling tahu dan paling benar, sehingga merasa berhak untuk membodoh-bodohi orang lain. Kekuasaan seseorang tidak otomatis menjadikan dirinya memiliki penguasaan pengetahuan. 

Ada orang yang merasa paling “melek”, sehingga dengan percaya diri menganggap orang lain “buta mata-buta hati-buta pikiran”. Atau ada orang yang merasa superior, sehingga menganggap wajar kalau berlaku aniaya kepada mereka yang dianggap “inferior”. 

Istilah-istilah yang merendahkan orang lain pun bertaburan di media sosial, tanpa pernah ada rasa bersalah apalagi disadari: apakah mereka yang “memaksakan opini dalam tulisannya yang serta merta menyepelekan orang lain” itu telah memiliki dan memahami pengetahuan yang benar? 

Di dalam dunia sains, setiap ilmuwan memiliki keahliannya masing-masing, sehingga tidak dibenarkan pula saling meremehkan antarilmuwan. Anak SMA lulusan IPA bukan berarti lebih cerdas dari lulusan IPS atau bahasa. Demikian pula di kalangan seniman, jurnalis, akademisi, ataupun para politikus, masing-masing dengan kepiawaiannya yang terbatas. Bahkan seorang Sokrates sekalipun menyatakan bahwa dia tidak tahu apa-apa (Suriasumantri, 1988:20).

 

Dalam pandangan religius, orang-orang yang rendah hati kerap mendasarkan dirinya pada keyakinan bahwa di atas bumi masih ada langit, dan di atas langit masih ada langit, sebagaimana Allah menjadikannya hingga tujuh langit, dan kata “tujuh langit” tidak selamanya diartikan tujuh lapisan langit  (Al-Baqarah [2]:29). Bukankah dalam Surat Yuusuf [12]:76, Allah SWT. juga berfirman: “........Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki, dan di atas tiap-tiap orang yang berilmu, ada lagi yang Maha Mengetahui”.

Itulah sebabnya, mengapa ada anjuran, “berpikir sebelum bertindak”. Apa sesungguhnya karakteristik berpikir itu? Dalam konteks Filsafat Ilmu, Suriasumantri (1988:20-22) menjabarkannya dalam tiga sifat, yaitu: menyeluruh, mendasar, dan spekulatif.

Menyeluruh, artinya seorang ilmuwan seyogyanya tidak berpuas diri hanya dengan keilmuan menurut sudut pandang ilmu itu sendiri. Ia perlu melihat hakikat ilmu dalam konstelasi ilmu pengetahuan lainnya, karena ia harus sepenuhnya yakin bahwa ilmu itu mampu membawa kebahagiaan buat dirinya. Ia harus terus berupaya untuk membongkar hal-hal fundamental, yaitu yang sifanya mendasar.

Mendasar, kata ini dapat dipahami dengan memulai pertanyaan: apakah ilmu itu benar? Benar tidaknya sebuah ilmu tidak dipercaya begitu saja, dan untuk menilai kebenaran ilmu diperlukan kriteria, sementara kriteria itu sendiri belum tentu benar.

Ketika makna kebenaran dipertanyakan, manusia seperti mencari jawaban dalam sebuah lingkaran. Tempat pertanyaan demi pertanyaan itu saling terkait melingkar, sehingga untuk menemukan jawabannya diperlukan sebuah titik awal dan titik akhir. Persoalannya adalah, bagaimana meyakini titik tersebut sebagai titik awal yang benar? Dengan kata lain, dalam setiap titik awal yang kemudian ditentukan, selalu ada sifat spekulatif.

Spekulatif. Sifat ketiga ini tidak dapat dihindarkan karena semua pengetahuan dimulai dengan spekulasi. Dari rangkaian spekulasi tersebut, manusia dapat memilih sebuah titik awal untuk mulai menjelajahi pengetahuan. Tetap saja kriteria tentang hal yang “benar” itu harus ditetapkan agar pengetahuan terus berkembang.

Sama halnya ketika berbicara tentang moral atau keindahan, diperlukan kriteria tentang baik atau buruk, atau mana yang dikatakan indah dan sebaliknya. Jadi, apakah hakikat orang paling tahu alias berpengetahuan yang benar? Jujun S Suriasumantri menuntaskan kisahnya dalam kalimat Sang Filsuf: “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu.”. Semoga kita termasuk di dalamnya.

*) Dosen dan Peneliti,  Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta

E-mail: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement