REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI mengkaji kembali kebijakan sekolah lima hari sepekan dan belajar delapan jam per hari. Sebab, kebijakan tersebut dinilai akan berpengaruh terhadap praktik penyelenggaraan pendidikan keagamaan yang selama ini dikelola oleh swadaya masyarakat.
"Praktik pendidikan keagamaan seperti Madrasah Diniyah dan pesantren biasanya kegiatan belajarnya dimulai sepulang dari sekolah umum (SD, SMP, SMU)," kata Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Sa'adi kepada Republika.co.id, Ahad (11/6).
Zainut menjelaskan, pendidikan dengan model Madrasah Diniyah dan pesantren selama ini telah memberikan kontribusi besar bagi penguatan nilai-nilai keagamaan. Juga berkontribusi dalam pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai akhlak mulia bagi anak didik.
Namun, dengan diberlakukannya pendidikan selama delapan jam sehari dapat dipastikan pendidikan dengan model Madrasah akan gulung tikar. Padahal keberadaan Madrasah masih sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat.
"Saya tidak bisa membayangkan berapa jumlah Madrasah Diniyah yang dikelola secara mandiri dan sukarela oleh masyarakat akan tutup. Berapa jumlah pengajar yang selama ini mendidik anak siswa dengan ikhlas tanpa pamrih akan kehilangan ladang pengabdiannya," ujarnya.
Ia mengatakan, hal ini sangat menyedihkan dan akan menjadi sebuah catatan kelam bagi dunia pendidikan Islam di negeri yang berdasarkan Pancasila. Kebijakan sekolah lima hari dalam sepekan dan belajar delapan jam sehari katanya merupakan bagian dari program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Menurutnya, kebijakan tersebut tujuannya bagus namun perlu dipikirkan ulang.
Sebab, apakah semua sekolah memiliki sarana pendukung untuk terciptanya sebuah proses pendidikan yang baik. Seperti sarana untuk ibadah, olahraga, laboratorium, tempat bermain, tempat istirahat yang nyaman dan kantin yang sehat serta layak. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah tersedianya jumlah pengajar yang cukup.
"Jika tidak ada sarana pendukung yang memadai dan pengajar yang cukup, alih-alih dapat terbangun suasana kegiatan belajar mengajar yang kondusif, anak didik bisa belajar dengan tenang, senang dan nyaman selama delapan jam. Justru yang terjadi adalah anak didik akan menjadi jemu dan stres," jelasnya.
Untuk itu, MUI meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut. Setidaknya kebijakan tersebut diberlakukan secara bertahap, selektif dan dengan persyaratan yang ketat. Misalnya hanya diberlakukan bagi sekolah yang sudah memiliki sarana pendukung yang memadai.
Sedangkan bagi sekolah yang belum memiliki sarana pendukung tidak diwajibkan. Selain itu, sebaiknya kebijakan tersebut tidak diberlakukan untuk semua daerah dengan tujuan untuk menghormati nilai-nilai kearifan lokal.
"Jadi daerah diberikan opsi untuk mengikuti program pendidikan dari pemerintah, juga diberikan hak untuk menyelenggarakan pendidikan sebagaimana yang selama ini sudah berjalan di masyarakat," ucapnya.