REPUBLIKA.CO.ID,Kenangan itu masih tergambar di benak Dewi, ibu asrama Rumah Yatim Aceh, sosok ibu yang berpakaian penuh lumpur dengan mata yang letih dan kulit yang terbakar matahari. Dalam siaran pers Rumah Yatim yang diterima Republika, Kamis (8/6), disebutkan, ia adalah wanita asal aceh yang jelita tampak dari garis-garis mukanya yang kini disaput oleh lelahnya kehidupan.
Namanya Anisah, tinggal di Gampong Neuheun,Mesjid Raya, Aceh Besar. Sehari-harinya dia bekerja sebagai seorang buruh tani dan ibu rumah tangga, mengurus kelima anaknya dengan telaten dan mengurus rumahnya dengan sangat baik. Rumah milknya entah masih layak dikatakan rumah atau tidak, terlihat atap-atap yang terbuat dari anyaman daun kelapa sudah robek-robek tengahnya, jika terjadi hujan ada kemungkinan seisi rumah kebasahan, dapur yang terlihat rapi itu, sangat sederhana barang mahal yang dia miliki hanya kompor gas saja, bahkan tak ditemukan seongok panci pun.
Saat Dewi menemuinya, Anisah mengakui bahwa dirinya belum memiliki beras sedikitpun, karena pekerjaannya belum selesai. Untuk mendapatkan beras 2 bambu, dia harus bekerja seharian disawah orang dan untuk mendapatkan temen nasi dia pun harus menunggu kembali suaminya yakni Rasyidin Basyah yang bekerja seharian sebagai pengrajin bata yang diganjar Rp. 800/perbatanya.
Anak terbesarnya yang berusia 19 tahun terpaksa harus mengadu nasib ke kota Banda Aceh, menjadi seorang asisten rumah tangga dan darinya pula Rumah Yatim mengetahui keberadaan Mamaknya yang hidup bersama ayah dan 4 adiknya yang secara tidak langsung bergantung hidup padanya. Jarak antara anak satu dengan yang lainnya terpaut 2 tahun, maka bisa kita pastikan putra putri Anisah semuanya masih kecil-kecil.
Namun sayang, meski masih usia sekolah semua anaknya harus putus sekolah dan terpaksa mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar saja. Maka tak heran putri sulungnya pun hanya mendapat pekerjaan sebagai asisten rumah tangga, meski begitu Anisah bersyukur putrinya dapat membantu dirinya dan adik-adiknya.
Mereka adalah potret kehidupan, potret kemiskinan di Indonesia yang sampai detik ini masih terus diperjuangkan agar semakin sedikit pemiliki predikat miskin di Indonesia, namun kondisi perekonomian, seolah tak memberikan ruang untuk bernafas kepada mereka, mereka terus mengejar sesuap nasi, tanpa punya kesempatan untuk mengejar kehidupan yang lebih baik dengan menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi . Agar mata rantai kemiskinan dapat terputus. Namun apa mau dikata seperti kata Anisah “ mau gimana lagi, kami tak punya uang untuk menyekolahkan anak-anak kami.”Harga sekolah sudah gratis, namun tak semua atribut yang ada disekolah itu gratis.
Kehidupan mereka membuat Dewi tertunduk dan memuji kebesaran Allah, SWT. Bersyukur Dewi bisa bertemu dan memberikan kebutuhan biaya pokok untuk meringankan beban mereka, setidaknya Rumah Yatim dengan para donaturnya dapat membantu meringankan beban mereka. Dan Dewi berharap dengan kisah ini banyak orang yang terus aware terhadap mereka, menyisakan sedikit hartanya agar mereka dapat memenuhi kebutuhanya.