Kamis 08 Jun 2017 10:58 WIB

Akademisi: Fatwa MUI Arahkan Warganet Berkomunikasi Santun

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin (kiri) memberikan draft fatwa MUI kepada Menteri Kominfo Rudiantara ( kanan)pada acara Diskusi Publik dan Launching Fatwa MUI tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Medsos di Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (5/6).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin (kiri) memberikan draft fatwa MUI kepada Menteri Kominfo Rudiantara ( kanan)pada acara Diskusi Publik dan Launching Fatwa MUI tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Medsos di Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (5/6).

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG  -- Akademisi Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang Tommy Susu, MS menilai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan salah satu instrumen untuk mengarahkan warganet melakukan komunikasi melalui media sosial secara santum.

"Jadi selain sebagai pedoman, fatwa yang telah ditetapkan pada 13 Mei 2017 itu dapat mengarahklan penggemar dunia maya agar dapat berkomunikasi dengan santun," katanya di Kupang, Kamis (6/8).

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Jurusan Komunikasi Unwira Kupang itu mengatakan hal itu menanggapi langkah dan kebijakan MUI yang dipandang solusif dan konstruktif bagi bangsa ini. Sejumlah arahan dan pedoman di antaranya adalah haram bagi setiap muslim dalam beraktivitas di media sosial melakukan ghibah (menggunjing), fitnah (menyebarkan informasi bohong tentang seseorang atau tanpa berdasarkan kebenaran), adu domba (namimah), dan penyebaran permusuhan.

Berikut dalam Fatwa tersebut juga MUI mengharamkan setiap muslim melakukan bullying, ujaran kebencian dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan.

Menurut Tommy, media sosial saat ini dapat berperan seperti pedang bermata dua, bisa membangun atau membunuh karakter.

"Ya perang kampanye sekarang tidak hanya perang pidato, tapi juga perang buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun nonekonomi hukumnya haram, termasuk di dalamnya orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya," katanya.

Ia mengakui bahwa peran sarana komunikasi (Medsos) saat ini tidak bisa dinafikan seperti sebagai metode blusukan diyakininya masih akan populer dan tetap digunakan politisi dalam ajang Pemilu di antaranya Pilkada lebih efektif kampanye dan blusukan.

Terutama katanya pada slump area atau kelas menengah ke bawah karena suara masyarakatnya cenderung tidak diakomodasi di media-media arus utama, selain itu juga mereka terbatas dalam mengakses media sosial sehingga hanya bisa menyampaikan aspirasi secara langsung kalau ada yang menemui. "Terutama masyarakat pinggiran, pedagang pasar, cara paling efektif buat dekat ke mereka ya mendatangi mereka," katanya.

Fatwa MUI No 24/2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial secara resmi dilakukan oleh Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin dengan memberikannya secara simbolik kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.

Dalam Fatwa tersebut diantaranya dinyatakan haram bagi setiap muslim dalam beraktivitas di media sosial melakukan ghibah (menggunjing), fitnah (menyebarkan informasi bohong tentang seseorang atau tanpa berdasarkan kebenaran), adu domba (namimah), dan penyebaran permusuhan.

Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin dalam kesempatan tersebut mengatakan, fatwa tersebut sangat penting sebagai upaya para ulama dalam mengantisipasi perkembangan media sosial.

"Jadi penggunaan medsos secara merusak menimbulkan bahaya. Keruskan itu harus ditolak, bahaya itu harus dihilangkan. Langkah yang kami ambil maka kita menerbitkan fatwa. Bisa disebut fatwa muamalah medsosiah, tidak mungkin menghindari medsos tapi bagaimana mencegah kerusakan," demikian KH Ma'ruf Amin.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement