Sabtu 03 Jun 2017 06:00 WIB

Rekor Baru Mudik

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Seorang staf bercerita,  pekan lalu dia begadang tiga malam untuk membeli tiket kereta secara online, namun berujung kegagalan. Tak berhasil mendapatkan, entah karena penuh atau sistem tidak berjalan lancar. Pilihan yang tersisa menggunakan bus antarkota.

Kisahnya memicu ingatan saya pada mudik tahun lalu. Di rubrik resonansi sempat saya menuliskan rasa syukur  ketika mendengar Menteri Perhubungan  kala itu, Ignasius Jonan, memasang target zero accident untuk  mudik Lebaran. Walaupun kita tahu, nyaris tak mungkin  nol kecelakaan dalam mobilitas lebih dari dua juta kendaraan bermotor, yang mengangkut tidak kurang dari dua puluh juta orang di waktu berdekatan. Tapi semangat target zero accident tetap harus dihargai serta didukung, dan andaipun  meleset, harusnya tidak jauh.

Kenyataannya, sekalipun ada penurunan, jumlah kecelakaan tetap tinggi.  Besaran kecelakaan lalu lintas periode tersebut pada 2016 tercatat 2.719  atau turun 8,60 persen dibanding periode yang sama pada lebaran 2015 sebanyak 2.975 insiden. Begitu pun dengan korban meninggal dunia sebanyak 504 orang atau turun 16,83 persen dibanding periode tahun lalu sebesar 606 nyawa melayang. Penurunan juga terjadi pada korban luka berat dari 1.012  menjadi 873 korban atau turun  13,73 persen. Sedangkan, data korban luka ringan turun sebanyak 1,06 persen dari 3.674 pada 2015 menjadi 3.635 pada periode lebaran kali ini. Sayangnya, nyawa lebih dari sekadar angka.

Berapa pun jumlahnya tetap sangat berharga.  Tapi ada sorotan yang menonjol di tahun 2016. Berbagai tulisan di media umum, media online, maupun  media sosial menyebut tahun lalu telah memecahkan rekor sebagai mudik termacet sepanjang sejarah. Bahkan muncul anggapan baru, mereka yang meninggal bukan saja karena kecelakaan, melainkan juga  disebabkan kelelahan dan kepanasan akibat terlalu lama di dalam kendaraan.

Sopir saya menceritakan perihal kenalannya yang terserang stroke ketika mudik. Terlalu lama diam, kepanasan, tidur di kendaraan roda dua, stres hingga mengalami  stroke. Guru kimia saya termasuk salah satu korban  mudik, pun bukan  lantaran kecelakaan lalu lintas. Beliau meninggal setelah muntah-muntah akibat terkurung di dalam bus  lebih dari tiga hari. Kisah-kisah getir ini, terlepas akibat sakit bawaan atau usia tua, selama tiga tahun lebih setiap menulis tema mudik di kolom resonansi tidak saya dengar sebelumnya.

Kenyataan tersebut kemudian memang sempat dibantah Menteri Perhubungan yang menjabat, yang kemudian di-reshuffle beberapa bulan kemudian, lalu diangkat lagi untuk jabatan menteri lain. Walau begitu opini sudah berkembang dan  sulit dinafikkan. Adanya pencapaian baru dalam mudik 2016, berupa rekor kemacetan terlama dan rekor terbanyak untuk korban yang meninggal bukan akibat kecelakaan. Fenomena yang kini menjadi tantangan Menteri Perhubungan yang sedang menjabat. Apakah mampu mengatur jalannya pelaksanaan mudik yang lebih rapi dan lebih baik dari tahun lalu?

Kabar mengatakan pemerintah akan memberlakukan sistem genap ganjil untuk memperlancar arus mudik. Bukan mustahil bisa jadi solusi, namun perlu sosialisasi dan kajian mendalam. Termasuk di antaranya, apa yang terjadi ketika di tanggal genap mobil terjebak seharian penuh sehingga sampai tanggal ganjil masih tidak bergerak. Apakah harus beralih ke jalur hijau, menepi di pinggir tol, atau bagaimana?

Selain prasarana, ide-ide baru tetap dibutuhkan. Saya percaya berbagai pihak terus melakukan evaluasi dan mencari cara demi terwujudnya harapan bersama yang selalu kita ulang, mudik yang berjalan lancar, juga aman. Menyisakan  kenangan  terbaik bagi para pemudik dan keluarga yang menanti, dan bukan   sebaliknya justru mengulang mimpi buruk setiap  momen Lebaran.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement