REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Politik Islam FISIF UIN Jakarta Prof Din Syamsuddin mengatakan, Pancasila tidak cukup diperingati hari kelahirannya. Tapi, Pancasila mendesak untuk dilaksanakan dalam setiap prikehidupan bangsa secara konsisten dan konsekuen.
Menurutnya, permasalahan bangsa akhir-akhir ini menampilkan gonjang-ganjing politik, hal tersebut juga terjadi karena meninggalkan Pancasila. Kata dia, ada yang terjebak dalam romantisme sejarah. Mereka hanya mengagung-agungkan Pancasila. Tapi sering menuduh pihak lain sebagai anti-Pancasila.
"Padahal, sesungguhnya mereka mendukung nilai-nilai yang bukan Pancasila dalam kehidupan politik, ekonomi dan budaya. Tidak mengamalkan Pancasila," kata Din kepada Republika.co,id, Kamis (1/6).
Ada juga pihak yang mengidap traumatisme sejarah sehingga enggan terhadap Pancasila. Karena malpraktik pada masa lampau. Selain itu, ada ada juga yang mengedepankan kritisisme sejarah. Mereka cenderung mengeritik Pancasila, menganggap Pancasila bukan solusi. "Sebenarnya bangsa Indonesia juga sedang menghadapi gejala keempat yang berbahaya, yaitu adanya yaitu adanya gejala permisivisme dan apatisme," ucapnya.
Din menegaskan, hal ini kalau tidak segera diatasi, maka tidak mustahil akan membuat Pancasila hanya tinggal nama dan negara Pancasila tinggal kerangka. "Gejala-gejala yang dihadapi Bangsa Indonesia sangat berbahaya dan ancaman nyata terhadap Pancasila itu sendiri," katanya.
Dia mengungkapkan, kesenjangan ekonomi yang ada di Indonesia sekarang, hal itu merupakan penjelmaan dari sistem ekonomi yang tidak Pancasilais. Demikian pula dalam bidang politik. Demokrasi yang diamalkan saat ini, kata Din, sudah terlalu jauh kebablasan dan dapat diyakini bertentangan dengan sila keempat.
Maka, sebagai solusinya, Din mengatakan, harus mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat serta berbangsa dan bernegara (reorientasi kultural). Juga harus memperbaiki tatanan kehidupan bangsa dalam politik, ekonomi dan budaya (reorientasi struktural).
Politik juga seharusnya jadi sebagai manajemen nasional yang mengayomi, melayani dan mengabdi kepada rakyat di atas persatuan bangsa secara berkeadilan. "Oleh karena itu, peringatan hari lahir Pancasila, kapan pun karena semua benar adanya, baik 1 Juni, 22 Juni dan 18 Agustus, saya tidak persoalkan tentang itu, (Hari lahir Pancasila) harus perlu berorientasi kepada substansiasi daripada seremoni," ujarnya.