Selasa 30 May 2017 14:15 WIB

PSI Tolak Wacana Penambahan Kursi DPR

Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni
Foto: dok-pri
Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menolak wacana penambahan jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sekjen DPP PSI Raja Juli Antoni menegaskan, yang dibutuhkan saat ini bukanlah penambahan kursi, namun optimalisasi kualitas anggota Dewan.

"Poinnya bukan pada penambahan kursi, tetapi optimalisasi kualitas anggota Dewan," ungkap Toni dalam keterangan yang diterima Republika.co.id, Selasa (30/5). Menurut dia, hingga saat ini DPR terus disorot karena kinerjanya belum memuaskan ekspektasi publik.

Toni mengungkapkan, fungsi legislasi, baik kualitas undang-undang yang dihasilkan maupun target penyelesaian Prolegnas masih tidak memadai. "Belum lagi yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi," ujarnya.

Ia juga menyoroti  fungsi-fungsi DPR yang lain seperti pengawasan dan menyerap aspirasi yang masih terbatas. “Peran DPR belum maksimal, sebaiknya jumlah yang ada

dioptimalkan, termasuk fungsi-fungsi tenaga ahli,” kata dia.

Penambahan kursi DPR, kata dia, hanya akan berdampak pada membengkaknya anggaran negara untuk gaji, tunjangan, dan fasilitas anggota DPR. Menurutnya, tidak ada jaminan penambahan anggaran akan meningkatkan kinerja DPR. "Sebaliknya alokasi untuk kesejahteraan rakyat berkurang," cetusnya.

Kritik itu dilontarkan DPP PSI menanggapi wacana yang berkembang dalam pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Panitia Khusus (Pansus) RUU Penyelenggaraan Pemilu menilai ada enam provinsi mengalami kekurangan keterwakilan, sebaliknya ada beberapa provinsi kelebihan keterwakilan. Opsi menambah 19 kursi  muncul lantaran provinsi yang kelebihan tidak mau dikurangi kursinya.

“Tentang realokasi kursi, sebaiknya perlu ditata ulang pembagian kursi berdasarkan prinsip one  person, one vote, one value (OPOVOV),” tutur Toni. Guna menjamin proporsionalitas besaran daerah pemilihan (dapil), kata dia, sebaiknya didasarkan pada sensus penduduk tiap 10 tahun.

Pihaknya juga mengkritisi soal tertutupnya  pembahasan penambahan kursi. “Hal ini melanggar prinsip keterbukaan dalam penyusunan  undang-undang,” tegas Toni. Ia menyarankan agar Pansu menyerap aspirasi terutama dari daerah-daerah yang  mengalami kelebihan maupun kekurangan keterwakilan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement