Kamis 18 May 2017 00:05 WIB

Meragukan Tuhan

Harri Ash Shiddiqie
Foto: dok.Istimewa
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)

Dalam mitologi Yunani, Dewa Zeus menghamili Semele, putri cantik raja Thebes, sehingga hamil. Istri Zeus yang sakit hati memprovokasi hati Semele, yang kemudian ragu-ragu, benarkah anak yang dikandungnya ini turunan dewa. Meski terpaksa, Zeus akhirnya mengabulkan permintaan Semele agar membuktikan dirinya dewa. Bukti berupa petir dahsyat mengakibatkan Semele meninggal. 

Kisah ragu-ragu juga ada pada novel Anna Karenina, karya Leo Tolstoy. Sebelum nikah, Levin datang ke gereja. Ia nyatakan keraguannya terhadap Tuhan.

Di cerita lain, tokoh pangeran dalam karya Shakespeare bernama Hamlet sangat ragu-ragu dalam semua tindakannya. Orang menyebutnya 'Si Peragu', hidupnya penuh tragedi.

Di laboratorium, ragu-ragu dimiliki setiap ilmuwan. Keraguan ini menuntut diuji, dibuktikan. Urutan langkah memperoleh kesimpulan yang tidak diragukan  disebut metode ilmiah. 

Sarjana yang menyusun skripsi pasti mengetahuinya. Dimulai dengan perumusan masalah, mengumpulkan  pendapat maupun fakta, merangkumnya sebagai kerangka landasan teori, yang menuntun secara rasional diperolehnya  dugaan, hipotesa. Di sini ragu-ragu itu berada. Berikutnya diuji, dibuktikan dengan fakta-fakta agar keraguan itu hilang, apakah hipotesa itu diterima atau ditolak.

Ada proses rasional dan fakta empiris. Itulah metode ilmiah yang mendasari berkembangnya ilmu fisika, sosial, psikologi, teknik elektro sampai urusan lubang hitam di luar angkasa.

***

Meski tidak diajarkan secara tekstual, metode ilmiah disampaikan kepada anak-anak. Mereka diminta membawa dua butir kacang hijau. Di sekolah butiran itu dibungkus kapas, dibasahi. Tiga hari kemudian anak anak bersorak, gembira, percobaan berhasil, kacang hijau itu bengkak dan mengeluarkan helaian putih. Bu guru menerangkan, suasana lembab memicu lembaga kacang tumbuh. Dibuktikan munculnya kecambah.

Pembelajaran “hakikat” metode ilmiah ada pada semua mata pelajaran, bukan hanya fisika dan biologi tapi juga pada sejarah maupun sastra. Itu terjadi berjam-jam setiap hari, selama seminggu, selama sebulan... selama sekolah.

Rasional-empiris itu mengendap, mengakar kuat. Salah satu “buah” akibat dari metode ilmiah di Barat adalah turunnya jumlah pengujung rumah ibadah di beberapa negara. Alasannya? Di sana mereka tidak melihat malaikat, surga maupun neraka. Mereka ingin melihat buktinya secara empiris, bisa diukur, nyata,  seperti mereka dapat menendang batu atau pohon.

Metode ilmiah adalah unsur peradaban yang terus berubah dan berkembang. Ia tidak sempurna karena capaiannya masih berkisar di urusan fisik,  itu pun banyak pengalaman empiris manusia yang tidak bisa diterangkan. Belum menjamah metafisik. Keliru bila diterapkan pada wilayah transenden.

***

Mari disimak ucapan seorang filosof, Bertrand Russell. Seorang atheis, katanya, percaya bahwa Tuhan tidak ada. Dari sana ditumbuhkan semacam agama baru bernama komunisme, digaungkan Pemerintah Soviet. "Ini agama maut," katanya dengan pedas dan penuh kebencian. 

Russell terkenal sebagai seorang yang meragukan Tuhan. Ketika ditanyakan kepadanya, bukti apa yang dapat meyakinkan dirinya bahwa Tuhan itu ada? Begini jawabnya: Saya dengar suara dari langit yang menyatakan apa yang akan terjadi pada diri saya 24 jam mendatang. Jika hal-hal itu benar terjadi, barangkali saya dapat diyakinkan tentang Tuhan. Atau setidak-tidaknya ada : intelegensia superhuman. Itu juga masih perlu didukung bukti-bukti lain.

Artinya, bukti apa pun bisa saja tidak memuaskan. Tepat seperti yang diungkap Alquran (QS.15: 14-15), meski dibukakan satu pintu langit, dan naik, lalu terus naik ke atas. Mereka berkata “Kami dikaburkan, kami kena sihir.”

Jauh sebelum Russel yang meninggal 1970, hidup pemikir sekaligus ahli matematika yang meragukan segala sesuatu. Jenius ini mendapat gelar sebagai Bapak Filsafat Modern, René Descartes (1596 – 1650). Ia meragukan apapun, tapi akhirnya ia tidak ragu dengan keberadaan dirinya : Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada).

Yakin dengan keberadaan diri, berupa fisik dan mental (berpikir), Descartes yakin ada pencipta  yang lebih sempurna dari apa yang diciptakan. Itulah Tuhan Yang Maha Sempurna.

***

Islam  menolak iman yang ragu-ragu, setengah-setengah. Iman yang berada di tepi. Di garis batas iman dan kafir. Terkadang menjadi Muslim dengan menjalankan shalat, terkadang tidak. Di saat yang lain, membantu orang lain meminggirkan Islam. (QS. 4: 143 dan QS. 22: 11).

Celakanya, berada di wilayah tepi ini ada yang berkata: Bebas. Terbebas dari rasa percaya kepada Tuhan, terbebas dari kewajiban agama. Ini kekeliruan cara pandang. Bagi yang berpikir bahwa hidup ini memiliki makna, ia membebaskan diri dari tujuan hidup. Malah masuk belantara percarian, mencari tanpa pernah berhenti. Kalaupun hampir menemukan, ia tak mempercayainya. Tepat seperti yang dialami Bertrand Russell. Ia terus mencari tanpa berhenti, ia tersiksa juga tanpa henti.

Bagi yang ogah-ogahan dan tak berpikir tentang hidup, maka hidup sekedar mengalir. Yang dipentingkan: Sehat. Urutannya : lahir, dewasa, nikah, beranak-pinak, tua. Bila memungkinkan menikmati hari tua plus banyak uang, ada kekuasaan, bisa bersenang-senang. Apalagi? Bila saatnya tiba, mati. Selesai.

Setan pasti gigih mengupayakan agar iman bergeser ke tepi. Marilah berdoa, selalu berlindung kepada Allah SWT sambil terus meneguhkan iman dengan membaca Alquran, menangkap maknanya, memperkaya diri dengan mendengarkan nasihat atau membaca tulisan ulama tentang menebalkan, menguatkan iman dan islam.

Ya Allah, tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Amin.

*) Penyuka sastra dan teknologi, di Jember.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement