Senin 15 May 2017 21:39 WIB

Bersama Maksimalkan Wisata Halal

Menteri Pariwisata Arief Yahya membuka acara Rembuk Republik di Gedung Kemenpar Jakarta, Kamis (4/5).
Foto: Prayogi/Republika
Menteri Pariwisata Arief Yahya membuka acara Rembuk Republik di Gedung Kemenpar Jakarta, Kamis (4/5).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Idealisa Masyrafina

JAKARTA -- Pemerintah tengah gencar mendorong pariwisata di Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, wisata halal memiliki potensi besar yang dapat mendorong perekonomian negara.

Sebagai langkah untuk memajukan industri wisata halal di Indonesia, pemerintah pusat  bersama-sama pemerintah daerah sedang mengembangkan berbagai inovasi untuk menarik para wisatawan mancanegara maupun domestik. Selangkah lebih maju, pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mendorong wisata halal di daerah tersebut dengan mengembangkan wisata Ramadhan.

Wisata religi dinilai memiliki daya tarik yang khas dibandingkan wisata lainnya. Optimisme akan ketertarikan wisatawan terhadap wisata ini diwujudkan dalam Program bernama Pesona Khazanah Ramadhan di Bumi Seribu Masjid.

Gubernur NTB, Tuan Guru Haji Muhammad Zainul Majdi menjelaskan, sebagai peraih penghargaan Best World Halal Tourism 2016, Lombok ingin melakukan inovasi dalam pariwisatanya. Wisata Ramadhan dinilai tidak hanya mendorong produktivitas masyarakat Lombok pada bulan suci, namun juga menghidupkan aktivitas perekonomian.

Ia mengatakan, selama ini Ramadhan identik dengan tidak melakukan apapun kecuali darurat. Hal ini menyebabkan layanan publik menurun dan produktivitas mengendor. Ini menjadi tujuan program Pesona Khazanah Ramadhan yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas masyarakat dan ekonomi di NTB saat bulan Ramadhan. Sehingga ramadhan yang tadinya merupakan low season untuk wisata, diharapkan dapat menjaring banyak wisatawan.

"Kami ingin simbol keagamaan berkolerasi positif dengab masyarakat dan keseluruhan bangsa. Ramadhan adalah energi yang besar, kita ingin menunjukkan ramadhan tidak diam tapi banyak gerak agar berkah," tutur Zainul dalam acara Rembuk Republik, 'Peluang dan Tantangan Industri Halal Indonesia' di Jakarta, Kamis (4/5).

Tujuan lainnya, NTB ingin semakin mengembangkan fasilitas dan segmen halal tourism ini dengan berbagai konten yang menarik. NTB ingin menciptakan inovasi dan kreativitas agar semakin mengukuhkan diri sebagai destinasi wisata halal.

Sebelumnya, kata Zainul,  NTB telah menambah wawasan Islami untuk pramuwisata, serta memperbanyak pramuiwsata yang ahli berbahasa Arab karena banyak wisatawan Timur Tengah. Dengan membentuk program ini, NTB akan menjadi yang pertama mengukuhkan spiritual tourism di Indonesia.

"Spiritual tourism yang tidak kalah penting bagaimana tourism ini bisa memberikan pengalaman spiritual bagi para pelancong, seperti shalat tarawih di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi agar mendapatkan  pengalaman berbeda," kata Zainul.

Dalam program ini, Pemprov NTB akan mengundang empat imam besar dari empat negara di Timur Tengah pada bulan Ramadhan ini. Adapun empat imam besar tersebut berasal dari Suriah, Maroko, Libanon dan Mesir.

Kegiatan keempat imam besar ini yaitu mengimami shalat serta memimpin tadarus dan doa pada malam Ramadhan. Selain itu, Pemprov NTB juga akan mengadakan sebanyak 28 kegiatan lainnya seperti festival kuliner, pameran buku, festival seni budaya hingga ekonomi kreatif.

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, Indonesia telah berhasil naik satu peringkat dalam Global Muslim Travel Index (GMTI) 2017, dari posisi ke tiga dari posisi empat. Ke depannya ia meyakini Indonesia bisa melampaui Malaysia dan UEA yang kini di peringkat dua teratas.

Tapi, Indonesia masih punya pekerjaan rumah. ''Kekuatan yang jadi kelemahan kita adalah halal. Kita yakin halal tapi tidak mau sertifikasi, padahal itu daya tarik konsumen,'' kata Arief.

Dengan pasar besar, berkelanjutan, dan menjanjikan, profit wisata halal tidak bisa Indonesia hindarkan. Apalagi, orang Indonesia memang ramah terhadap tamu. Untuk benar-benar bisa meraih potongan besar pasar ini, Indonesia harus benar-benar menyiapkan wisata halal. Panduan industri wisata halal dunia seperti GMTI bisa jadi acuan Indonesia untuk membenahi wisata halal.

“Semua PR wisata halal Indonesia termasuk infrastruktur, kebersihan dan higienitas, harus bisa dikuantifikasi sehingga arah perbaikannya jelas,” ujar Arief.

Indonesia sedang fokus meningkatkan serapan pasar lebih inklusif, termasuk menggunakan terma wisata ramah Muslim. Program wisata Ramadhan yang dicanangkan NTB ini diyakini Arief akan menyerap para wisatawan, apalagi ini merupakan yang pertama di dunia. Diharapkan dengan program ini akan dapat menciptakan suasana Ramadhan yang membahagiakan.

"Wisata ini belum pernah punya model di dunia, Lombok yang pertama. Suasana Ramadhan yang membahagiakan ini saya rasa dapat meningkatkan pariwisata kita," kata Arief.

Arief menuturkan, untuk mendorong industri pariwisata, Indonesia harus memiliki keunikan dan kekhasan. Dalam hal ini ia meyakini bahwa wisata religi memiliki daya tarik yang kuat dan bersifat lebih abadi. Adapun yang dijual dalam wisata religi tidak hanya produk dan proses, tapi juga nilai.

 

Ia mencontohkan Bali yang wisatanya berpegang pada nilai spiritual untuk baik pada Tuhan, manusia, dan alam. “Wisata halal atau wisata ramah Muslim juga bisa demikian. Islam punya konsep habluminallah, habluminannas, dan rahmatan lil 'alamin,” tuturnya.

Indonesia juga tengah memperluas penetrasi berdasarkan geografis. Wisata mirip komunikasi dan transportasi di mana pengunanya melakukan itu karena kedekatan (proximity). Apalagi dengan jumlah wisatawan Muslim dunia yang akan meningkat di angka 170 juta pada 2020 membuat Indonesia dirasa perlu mengembangkan wisata halal.

Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Halal Riyanto Sofyan menyebutkan, untuk menggaet pangsa pasar tersebut pihaknya telah menyiapkan empat pilar pengembangan wisata halal. Pilar pertama yakni terkait kebijakan dan regulasi. Berbicara kedua hal tersebut tentu sangat berkaitan dengam pemerintah pusat dan daerah.

“Mengapa Lombok NTB bisa berhasil mengembangkan wisata Muslim,  itu karena gubernurnya  punya komitmen. Kami ingin dorong itu ke daerah lainnya. Selama ini Indonesia besar tetapi masih dilirik sebagai pasar, bukan tujuan,” ujar Riyanto.

Pilar kedua yaitu pemasaran. Menurut Riyanto,  destinasi wisata harus melihat kebutuhan pasar. Seperti kawasan wisata alam di NTB yang cocok untuk wisman Timur Tengah, dan adventure-nya yang sesuai dengan wisman Muslim Eropa.

Untuk wisata halal lainnya, seperti Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, kebudayaan Aceh sangat sesuai dikembangkan untuk menggaet wisatawan negara tetangga. Sedangkan Provinsi Sumatera Barat untuk wisata kulinernya yang khas dan kaya citarasa.

“Kalau Aceh kulturnya yang kami angkat. Semua harus ada pembedanya. Sedangkan Sumbar yang kami angkat adalah kulinernya,” jelasnya.

Adapun pilar ketiga dan keempat terkait dengan pengembangan aneka atraksi dan akses transportasi. Hal itu bertujuan supaya wisatawan merasa nyaman dan sesuai dengan tujuan wisata halal.

“Peningkatan kapasitas untuk jaminan kontrol supaya wisman bisa kembali lagi. Kita harus cocokan atraksi yang sesuai dengan wisata halal,” tambahnya

Sedangkan dari sisi tantangannya, menurut Riyanto,  yang saat ini masih besar dihadapi Indonesia terutama menyangkut kesadaran, pemahaman dan kompetensi terhadap konsep wisata halal yang harus ditingkatkan. Perlunya sertifikasi juga memberikan jaminan kepada para wisman mengenai kualitas pariwisata Indonesia.

Pelaku usaha pariwisata masih belum melihat wisata halal sebagai potensi besar sehingga lebih banyak melayani wisata umrah dan haji. ”Potensi wisata halal lebih besar dibandingkan dengan potensi wisatawan China. Namun, Indonesia selama ini belum mengembangkannya karena yakin sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, produk-produk kita sudah halal,” kata Riyanto.

Berdasarkan studi Mastercard-Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2016, total jumlah wisatawan Muslim dunia mencapai 117 juta pada 2015. Jumlah itu diperkirakan terus bertambah hingga mencapai 168 juta wisatawan pada 2020 dengan pengeluaran di atas 200 miliar dollar AS atau sekitar Rp 2.600 triliun.

Padahal jika dibandingkan dengan negara-negara yang ada di Asia Tenggara dalam konteks wisata halal, Indonesia baru bisa mendatangkan devisa negara dari pariwisata halal sebesar 11,9 miliar dollar AS. Hal ini berdasarkan data World Travel Tourism Council (WTTC).

Riyanto menambahkan, selama ini industri halal hanya diartikan sebagai industri makanan dan minuman. Padahal, halal juga ada di sistem keuangan dan gaya hidup.  "Yang sekarang sedang tumbuh pesat adalah gaya hidup halal. Pariwisata ada di dalamnya. Dan harus kita kembangkan," ujar Riyanto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement