REPUBLIKA.CO.ID, Pernah mendengar nama Sujadi Siswo, Jurnalis Channel News Asia (CNA)? Pria asal Singapura ini sangat akrab dengan budaya Indonesia karena ia lama bertugas meliput kondisi Indonesia. Bahkan nama Sujadi sendiri sangat Indonesia.
Selama pengalamannya lebih dari sepuluh tahun meliput tentang Indonesia, Sujadi memiliki pandangan khusus tentang Indonesia. “Saya memiliki pandangan yang sangat mendalam tentang Indonesia karena saya pernah tinggal di sana selama lebih dari 10 tahun. Jadi saya tidak seperti orang Singapura pada umumnya yang memiliki pandangan yang terbatas tentang Indonesia dan masyarakatnya. Selain itu, saya juga memiliki keluarga dan kerabat di Indonesia,” jelasnya dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (10/5).
Dalam satu kata, Indonesia menurutnya sangat kaya dalam berbagai hal, mulai dari budaya, sejarah, sumber daya alam hingga kekayaan kulinernya. Pria yang sejak setahun lalu bertugas sebagai Koresponden Senior untuk Asia Tenggara ini, sebelumnya, saya bertugas di biro Indonesia selama lebih dari sepuluh tahun. Setiap hari ia bertugas melaporkan semua berita tentang Indonesia untuk CNA.
Sujadi juga menangani proyek-proyek khusus, seperti laporan 30 menit dan dokumenter tentang terorisme di Indonesia. Ia juga bertugas untuk mengkoordinasikan berbagai acara off-air di Indonesia.
Menurut dia, tantangan terbesar selama bertugas di Indonesia adalah ketika dirinya melakukan liputan tentang jaringan Jemaah Islamiyah (JI). Aksesnya sangat sulit, tapi ia berhasil mewawancarai para pemimpin JI tersebut. Kami berbicara dan bahkan berdoa bersama-sama dengan mereka. Hasil dari liputan ini berupa film dokumenter berjudul "The making of Unbroken Faith”, sempat diprotes masyarakat di Indonesia.
“Tidak mudah untuk melawan protes, terutama jika berbicara mengenai subjek sensitif seperti yang berhubungan dengan terorisme dan fundamentalis Islam. Agama, nilai sosial, stereotip semua dicampur dalam persepsi publik yang berbeda. Tapi, ini adalah bagian dari pekerjaan saya sebagai wartawan yang saya harus hadapi,” ujarnya.
Lalu apa pandangan Sujadi tentang jurnalisme di Indonesia? Menurutnya, pintu kebebasan berbicara dan berekspresi telah dibuka setelah reformasi. Namun, media di Indonesia masih banyak yang belum memiliki kontrol diri yang baik, masih banyak yang hanya mementingkan dalam meraup sebanyak-banyaknya pemirsa dan pembaca.
“Beberapa berita yang mereka beritakan sering kali tidak bertanggung jawab. Saya tahu mereka tengah berupaya untuk lebih mengatur standar media di Indonesia,” jelasnya.
Jika dibandingkan dengan Singapura, lanjutnya, negara ini menerapkan jurnalisme untuk berkembang. Anda membuat banyak berita untuk tujuan pembangunan bangsa. Tidak seperti di Indonesia, di Singapura tidak ada terlalu banyak cerita politik, dan lebih banyak pembahasan tentang pembangunan negara.
Selama di Indonesia, banyak sekali daerah yang sudah ia kunjungi. Ia suka mengunjungi banyak daerah untuk liburan juga. “Ada begitu banyak tempat indah yang layak dikunjungi di Indonesia. Saya sudah mengunjungi semua pulau kecuali Papua. Suatu hari saya akan mengunjungi Papua,” ujarnya.
Tapi ia mengaku pada umumnya suka daerah terpencil di Indonesia. Ia suka suasana tenang dan damai di daerah. Kecintaannya terhadap Indonesia terlihat saat ia belajar bahasa Indonesia. Terutama saat bertugas di Jakarta selama lebih dari sepuluh tahun ini. Walaupun dirumah ia menggunakan bahasa Melayu kepada kedua orang tuanya.
Selain itu, ia juga sangat menyukai makanan Indonesia. Menurutnya ada begitu banyak hidangan lezat di Indonesia, tapi ia sangat menyukai masakan Manado dan Sunda. “Sangat lezat.”
Menurutnya, makanan Indonesia dan makanan Singapura memiliki banyak kesamaan dalam hal makanan. Selain makanan Cina, makanan Melayu juga populer di Singapura. Jika Anda melihat makanan Melayu, ada banyak kesamaan karena sebagian besar hidangan Melayu berasal dari Sumatera, sebagian besar dari Padang atau Medan. Walaupun tentu sudah ada banyak penyesuaian sehingga Anda tidak mendapatkan rasa asli seperti makanan Padang atau Medan.
Walaupun begitu menyukai Indonesia, ia terkadang sangat sulit untuk memahami orang-orang Indonesia karena mereka cenderung bersikap sopan dan non-konfrontatif. Dalam beberapa kasus, Anda harus menebak apakah kata “ya” benar-benar berarti “ya” atau itu hanyalah cara sopan untuk mengatakan “tidak”. Stereotip ini mengacu pada beberapa etnis, seperti Jawa. Namun, tidak selalu berlaku dalam kasus etnis lain, seperti suku Batak misalnya.