Rabu 10 May 2017 23:04 WIB

Kondisi Fundamental Ketenagakerjaan Indonesia Dinilai Masih Rapuh

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Karta Raharja Ucu
Tenaga Kerja Indonesia (TKI), berusaha mengais rezeki di negeri orang.
Foto: Antara/Feri
Tenaga Kerja Indonesia (TKI), berusaha mengais rezeki di negeri orang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai masih banyak memiliki 'pekerjaan rumah' untuk memperbaiki kondisi lapangan pekerjaan bagi warganya. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2017 menunjukkan sinyal positif dari kondisi ketenagakerjaan Indonesia. Tingkat pengangguran terbuka turun dari 5,5 persen menjadi 5,33 persen.

Di sisi lain, jumlah angkatan kerja yang menganggur masih tinggi, mencapai tujuh juta orang. Tingkat partisipasi angkatan kerja melonjak mencapai 69,02 persen dari level 68,06 persen per Februari 2016.

Anggota Komisi IX DPR RI Ecky Awal Mucharam mengatakan meski menunjukkan perbaikan, namun secara umum kondisi fundamental ketenagakerjaan Indonesia masih rapuh. Ada tiga ukuran yang dapat mengonfirmasi kondisi tersebut. "Pertama, tenaga kerja berpendidikan rendah masih mendominasi yaitu mencapai 60,39 persen," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Rabu (10/5).

Kedua, tenaga kerja informal juga masih mendominasi sebesar 58,35 persen. Ketiga, persentase pekerja penuh waktu justru turun dari posisi 69,89 persen pada Februari 2016 menjadi 69,86 persen pada Februari 2017, sementara porsi pekerja paruh waktu meningkat menjadi 30,14 persen dari level 30,11 persen.

 

Ecky menyebut, selain itu, dominasi tenaga kerja informal akan berpengaruh terhadap dua hal yakni penerimaan pajak dan ketimpangan pendapatan. Hingga saat ini, hanya tenaga kerja pada sektor formal yang terdaftar dan memiliki NPWP. Pada bagian lain, kata dia, dualisme sektor tenaga kerja menyebabkan ketimpangan pendapatan semakin tinggi.

"Tenaga kerja di sektor formal memiliki kepastian kenaikan pendapatan setiap tahunnya, sedangkan sektor informal cenderung memiliki pendapatan tetap bahkan turun," kata dia.

Dia mengatakan terlepas dari data perbaikan tingkat pengangguran, pertanyaan utama yang harus dijawab adalah apakah penurunan pengangguran tersebut mampu memperbaiki kualitas hidup dan kesejahteraan tenaga kerja atau tidak. "Pada awal 2017 hingga kini, tekanan terhadap daya beli sangat tinggi, dimulai dari kenaikan administrasi Surat Tanda Naik Kendaraan (STNK) dan pencabutan subsidi listrik golongan 900 VA serta kenaikan BBM, apalagi sejumlah kebijakan dilakukan menjelang Ramadhan.” ujar Ecky.

Menurut Ecky, tantangan berat yang sebentar lagi terjadi adalah kehadiran revolusi industri keempat. Revolusi ini akan menghilangkan tenaga kerja tidak terampil karena kehadiran mesin-mesin cerdas. Saat ini, tenaga kerja Indonesia sebagian besar tidak berketerampilan dan bekerja di sektor informal.

"Sedikitnya 7,1 juta tenaga kerja dunia akan kehilangan mata pencaharian pada 2020. Oleh karena itu, pemerintah khususnya kementerian/lembaga terkait harus bekerja keras dan padu dalam memperbaiki kondisi ketenagakerjaan dan lapangan pekerjaan secara fundamental," kata dia.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement