Senin 08 May 2017 21:46 WIB

JK Ajak Kembangkan Kultur Sadar Bencana

Rep: Kabul Astuti/ Red: Andi Nur Aminah
Wakil Presiden Republika Indonesia Jusuf Kalla
Foto: ROL/Abdul Kodir
Wakil Presiden Republika Indonesia Jusuf Kalla

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Wakil Presiden Republik Indonesia, HM Jusuf Kalla (JK)  mengingatkan agar masyarakat Indonesia meningkatkan kultur sadar bencana. Meningkatnya bencana di Indonesia perlu diantisipasi dengan mengembangkan kultur sadar bencana untuk mengurangi risiko bencana. 

"Bencana bersifat multidimensi sehingga semua ilmu harus memberikan solusi terhadap bencana. Selalu dinamis dan harus dapat dilakukan preventif,” ujar JK  dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan Riset Kebencanaan di Balairung Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, Senin (8/5).

JK menceritakan pengalamannya selama 17 tahun ikut serta dalam penanganan bencana. Ia pernah menjabat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat merangkap Ketua Bakornas, kemudian Ketua PMI. Ia juga terjun langsung menangani tsunami Aceh, gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, gempa Sumatra Barat, serta bencana lainnya. 

Menurut JK, kultur kebiasaan masyarakat di Simeulue, Aceh sudah menjadi kultur masyarakat Indonesia saat ini. Begitu merasakan gempa besar, warga langsung berlari ke bukit. Saat tsunami Aceh, kultur masyarakat Simeulue ini telah menyelamatkan warga sekitar. Hanya ada korban 10 jiwa, sedangkan di wilayah Aceh yang tidak memiliki kultur ini korbannya lebih dari 100 ribu jiwa.

Wapres menambahkan, intensitas gempa kenyataannya tidak selalu simetris dengan korban gempa. Gempa 6,3 SR di Yogyakarta dan Jawa Tengah tahun 2006 misalnya, menelan korban 5.700 jiwa meninggal. Sedangkan gempa 7,6 SR di Sumatra Barat menyebabkan 1.700 orang meninggal dunia. 

Dia menjelaskan, dampak gempa tergantung pada lokasi, waktu, dan kondisinya.  JK menerangkan, di Yogya penduduk lebih padat, rumah beratap genteng, dan kejadiannya pada subuh. Sedangkan, gempa di Sumatra Barat terjadi pada sore hari dengan populasi penduduk yang tidak sepadat di Jawa. "Jadi empat hal yang harus dijawab para peneliti, akademisi, praktisi dan lainnya adalah apa, dimana, kenapa dan bagaimana? Iptek harus mampu memprediksi secara tepat," ujar JK.

Untuk dapat mengatasi bencana, menurut JK, ada tiga tahapan. Pertama, tanggap darurat dengan prioritas penyelamatan korban. Kedua, rehabilitasi dan ketiga rekonstruksi. 

Saat pasca tsunami, pemerintah menetapkan tanggap darurat selama tiga bulan, rehabilitasi tiga bulan dan rekonstruksi selama tiga tahun. Hal yang sama juga dilakukan saat penanganan gempa Yogyakarta. 

Menurut JK, cepatnya penanganan bencana ini menjadi contoh dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan penghargaan Global Champion for Disaster Risk Reduction kepada Pemerintah Indonesia. Ia juga meminta agar kesadaran para akademisi dalam inovasi riset kebencanaan ditingkatkan sehingga korban bencana dapat dikurangi.

Kepala BNPB Willem Rampangilei memaparkan, jutaan penduduk Indonesia tinggal di daerah bencana. Sebanyak 150 juta penduduk di daerah rawan gempa, 64 jiwa di daerah rawan banjir, dan 41 juta di daerah rawan longsor. Kejadian bencana terus meningkat setiap tahun. Diharapkam, Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) dapat meningkatkan jejaring iptek untuk penanggulangan bencana.

"Kapasitas penanggulangan bencana di kalanngan pemda masih belum merata. Penyebab bencana disebabkan laju degradasi lingkungan lebih cepat dari pemulihan. Untuk mengantisipasi bencana, maka pencegahan dan penanggulangan bencana menjadi prioritas pembangunan nasional. Pencegahan menjadi lebih prioritas," tegas Willem.

Sedangkan Rektor UI, Muhammad Anis mengatakan Indonesia adalah laboratorium bencana yang menjadi tantangan bagi para pendidik, peneliti, dan praktisi. Riset penanggulangan bencana berkembang pesat karena multidimensi. Menurutnya, UI telah menghasilkan beberapa inovasi makanan untuk kondisi tanggap darurat bencana, simulasi, serta pendidikan kebencanaan.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement