Jumat 05 May 2017 11:53 WIB

Pilkada 10 Kabupaten/Kota di Jabar Terancam tak Sah

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Barat, Harminus Koto
Foto: Dok Republika
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Barat, Harminus Koto

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Peresiapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 di Jawa Barat, masih tak berjalan lancar. Karena, 10 kabupaten/kota penyelenggara pilkada belum menunjukkan komitmennya untuk menyukseskan ajang pesta demokrasi itu.

Menurut Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Barat, Harminus Koto,  ke-10 pemerintah kabupaten/kota tersebut belum mengalokasikan anggaran untuk pengawasan pilkada. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 15/2011 mengamanatkan, pemerintah daerah wajib mengganggarkan dana tersebut. Bahkan, undang-undang pun mewajibkan pengawasan dalam setiap pelaksanaan pilkada.

"Dari 16 kabupaten/kota yang akan menggelar Pilkada Serentak, baru enam kabupaten/kota saja yang sudah menyatakan kesanggupannya memenuhi kebutuhan anggaran pengawasan pilkada yang diusulkan Bawaslu Jabar," ujar Harminus kepada wartawan, Kamis malam (4/5).

Harminus mengatakan, Bawaslu Jabar memberikan tenggat waktu bagi ke-10 pemerintah kabupaten/kota itu untuk segera memenuhi tanggung jawabnya sebelum tahapan Pilkada Serentak 2018 dimulai, Agustus 2017 mendatang. Kalau tak dianggarkan, pengawasan tidak akan dilakukan di 10 kabupaten/kota tersebut. Padahal, Undang-undang mensyaratkan, pengawasan wajib dilakukan dalam setiap pilkada. 

"Bila tidak (ada pengawasan), pasti cacat hukum. Artinya, pilkada itu tidak sah dan dibatalkan," katanya.

Menurut Harminus, pengalokasian dana pengawasan pilkada serentak itu pun sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 44/2015 tentang Pengelolaan Dana Kegiatan Pemilihan Gubernur/Bupati/Wali Kota dan wakilnya. Harminus mengatakan, momentum Pilkada Serentak 2018 di Jabar akan dilakukan untuk Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jabar 2018 dan pilkada di 16 kabupaten/kota. Khusus pelaksanaan Pilgub Jabar, pihak penyelenggara yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu Jabar menyatakan tidak ada masalah.

Hal itu ditandai, kata dia, dengan telah ditandatanganinya naskah perjanjian dana hibah (NPHD) oleh Gubernur Jabar dan Ketua KPU serta Ketua Bawaslu Jabar belum lama ini. "NPHD (Pemprov Jabar) sudah ditandatangani Rp 322 miliar untuk Bawaslu," katanya.

Dana dari Pemprov Jabar tersebut, kata dia, di dalamnya termasuk dana tambahan untuk 16 kabupaten/kota. Namun, pemerintah daerah juga tetap harus menyediakan.

Saat ini, kata Harminus, dari 16 kabupaten/kota, baru enam kabupaten/kota yang sudah menyatakan kesanggupannya memenuhi dana pengawasan pilkada. Keenam kabupaten/kota itu, yakni Kabupaten Bogor, Subang, Bandung Barat, Kota Bogor, Kota Bandung, dan Kota Bekasi.

Sementara sisanya, kata dia, yakni Kabupaten Garut, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Purwakarta, Kota Sukabumi, Kota Cirebon, dan Kota Banjar hanya sanggup menyediakan anggaran pengawasan yang besarnya jauh dari yang diusulkan Bawaslu Jabar.

Harminus mengatakan, di Kabupaten Cirebon, dari total usulan sebesar Rp 16,3 miliar lebih, Pemkab Garut hanya sanggup mengalokasikan anggaran Rp 3,9 miliar lebih atau masih kurang sekitar Rp 12 miliar lebih. Sementara di Kabupaten Sumedang, dari usulan Bawaslu Jabar sebesar Rp 11,6 miliar lebih, Pemkab Sumedang hanya sanggup menyediakan dana sebesar Rp 1,5 miliar atau kurang Rp 9,6 miliar lebih.

Sedangkan di Kabupaten Majalengka, kata dia, dari usulan sebesar Rp 11,8 miliar lebih, kesanggupannya hanya Rp 3 miliar atau kurang Rp 8,8 miliar. Berdasarkan usulan Bawaslu Jabar, total dana pengawasan di 16 kabupaten/kota mencapai Rp 165,2 miliar lebih. "Sementara kesanggupan pemda baru Rp 103,8 miliar lebih atau masih kurang Rp 61,5 miliar lebih," katanya.

Harminus mengatakan, merujuk pada Permendagri Nomor 44/2015, karena Pilkada serentak di 16 kabupaten/kota bersamaan dengan Pilgub Jabar 2018, maka pembiayaannya pun sharing antara APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota. Dengan pembagian, belanja honorarium petugas dibebankan seluruhnya pada APBD provinsi. Sementara belanja barang dan jasa dibebankan kepada APBD kabupaten/kota. 

"Nah, meski sudah sharing, kenyataannya ke-10 kabupaten/kota ini tidak sanggup dengan alasan yang tidak jelas," katanya.

Sementara menurut Komisioner Bawaslu Jabar Wasikin, ketidaksanggupan pemerintah kabupaten/kota menyiapkan anggaran Pilkada sebagai bukti kurang pedulinya kepala daerah terhadap hajat demokrasi di wilayahnya sendiri. Misalnya, di Majalengka bupatinya sudah menjabat dua periode. "Dia kan sudah menikmati. Tapi anehnya pilkada berikutnya tidak sanggup mereka siapkan," katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement