Senin 01 May 2017 17:13 WIB

Perusahaan Rokok Vs Pertamina

Foto suasana aktivitas di anjungan lepas pantai Pertamina Hulu Energi (PHE) 5 di Perairan Madura, Jawa Timur, Rabu (12/10). PHE 5 tersebut merupakan anjungan yang sebelumnya memproduksi gas dan kini beralih fungsi menjadi Central Processing Platform yang m
Foto: Antara/Zabur Karuru
Foto suasana aktivitas di anjungan lepas pantai Pertamina Hulu Energi (PHE) 5 di Perairan Madura, Jawa Timur, Rabu (12/10). PHE 5 tersebut merupakan anjungan yang sebelumnya memproduksi gas dan kini beralih fungsi menjadi Central Processing Platform yang m

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Salamuddin Daeng *)

Seorang pejabat tinggi negara ini pernah berkata, "Saya tidak suka migas diurus negara. Saya ingin migas seperti tembakau/rokok, tidak ada negara di dalamnya, tapi sumbangan terhadap APBN paling besar".

Sepintas pernyataan itu logis, karena sektor tembakau/rokok adalah penyumbang pendapatan negara paling besar saat ini. Mencapai 4 kali pendapatan sektor migas. Bahkan sumbangan perusahaan rokok kepada APBN dapat mencapai 10 kali sumbangan dividen Pertamina kepada APBN.

Barangkali itulah dasar dari skema bagi hasil (gross split) yang sekarang hendak dijalankan dalam bagi hasil minyak. Gross split berarti negara terima bersih pendapatan bagi hasil minyak dan tidak menanggung biaya ekplorasi dan eksploitasi migas. Meskipun skema gross split ini sampai sekarang belum jelas rimbanya.

Tapi, pejabat negara itu lupa bahwa sumbangan sektor tembakau kepada APBN yang relatif besar itu memang dari sejak negara ini berdiri. Sementara sumbangan migas khususnya Pertamina kepada APBN pada era Soekarno dan Soeharto sangat besar. Namun, sumbangan tersebut menyusut jauh ketika era reformasi dijalankan.

Mengapa itu bisa terjadi? Sistem pengelolaan tembakau dari era Soekarno, era Soeharto, sampai era reformasi relatif sama. Kejayaan tembakau telah diletakkan dasar dasarnya dengan baik sejak kemerdekaan.

Sementara sistem pengelolaan migas telah diobrak abrik pada era reformasi. Migas yang merupakan fondasi ekonomi Indonesia sejak kemerdekaan, hancur lebur dihantam oleh pengkhianatan reformasi.

Bayangkan pada era Orde Baru itu, rezim yang dituduh melakukan korupsi dalam migas, ternyata membangun segalanya dari hasil minyak dan jerih payah Pertamina. Perusahaan listrik negara (PLN) dibangun dengan keuntungan Pertamina. Perusahaan baja Krakatau Steel dibangun dengan dana Pertamina. Sekolah, universitas, rumah sakit, kota kota baru di Indonesia dibangun oleh Pertamina.

Saya ingat Dr Kurtubi seorang ahli migas, dalam ceramahnya di Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, daerah kelahirannya mengatakan, dengan mata berkaca-kaca bahwa, "Jalan Langko, jalan utama di Kota Mataram dengan panjang puluhan kilometer dibangun oleh Pertamina pada era kepemimpinan Ibnu Sutowo. Sekarang Pertamina bisa apa?"

Mengapa semua ini bisa terjadi ? Migas yang sebelumnya dikuasai oleh negara dicabik-cabik dan diserahkan kepada swasta. Institusi pengelolaan migas pada era reformasi direkayasa serumit mungkin sehingga tidak mudah dipahami dan dikalkulasi. Caranya adalah UU Migas yang dibuat oleh Bung Karno dan dilanjutkan oleh Soeharto, diganti oleh pengkhianat reformasi dengan UU 22 Tahun 2001 tentang Migas.

Hasilnya? Migas jatuh ke tangan perusahaan asing. Pertamina yang sebelumnya raksasa berubah menjadi kurcaci. Produksi migas menurun. Biaya produksi migas (cost recovery) meningkat. Pendapatan negara yang pada era Orde Baru 75 persen ditopang migas, sekarang hanya tinggal setetes.

Penghancuran fondasi utama ekonomi negara oleh asing, antek-antek asing, para taipan, antek para taipan, yang tujuan mereka cuma satu, yakni bagaimana memindahkan aset negara menjadi kekayaan pribadi.

Kisah perusahaan tembakau vs pertamina inilah yang harus disaksikan oleh presiden Jokowi, dipahami oleh para arsitek hukum dan ekonomi di sekeliling presiden, bahwa untuk mendapatkan uang/dana untuk pembangunan infrastruktur bukan dengan memburu uang Arab, Amerika, dan Cina. Itu bukan cara suatu negara mencari uang.

Namun, yang harus dilakukan Presiden Jokowi adalah membangun kapasitas nasional yang akan hanya bisa dengan membenahi sistem politik dan ekonomi sebagai pijakan dalam mengelola sumber daya ekonomi nasional untuk menambah kapasitas nasional.

Saya ingat perkataan Prof Hartoyo, uang itu seperti topi. Penghias kepala. Isi kepala orang itulah yang menentukan nilai dirinya dan menciptakan nilai pada lingkungannya. Kepala kuat itulah sistem yang akan membuat Presiden Jokowi punya uang.

*) Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement