Ahad 30 Apr 2017 09:15 WIB

Menakar Dana Abadi Pendidikan

Dadang Solihin
Foto: istimewa
Dadang Solihin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dadang Solihin *)

"Kemajuan sebuah bangsa terletak pada pendidikan dan para generasi bangsa itu sendiri."  

-- Ki Hadjar Dewantara

Sebuah keputusan penting tak banyak mendapat sorotan media pada awal bulan ini. Sidang Kabinet Paripurna yang diselenggarakan di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (4/4) lalu, telah menghasilkan keputusan terkait anggaran pendidikan. Presiden Joko Widodo memberi instruksi kepada kementerian/lembaga (K/L) agar sebagian dari 20 persen anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), diinvestasikan.

Tujuan investasi untuk memenuhi kebutuhan generasi masa depan di sektor pendidikan, terutama di bidang pendidikan tinggi. Presiden menilai, penggunaan 20 persen anggaran pendidikan dalam APBN sudah cukup baik. Namun, penggunaan dan pemanfaatan anggaran sudah seyogianya selalu diperbaiki sehingga lebih tepat sasaran. (Republika, 5 April 2017).

Namun, apakah dana abadi pendidikan itu sesungguhnya diperlukan? Pertanyaan ini sungguh menggelitik. Sebagaimana kita ketahui bahwa sektor pendidikan merupakan dasar dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa. Tidak terkecuali Indonesia. Maka, tidak heran apabila konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu UUD 1945 Pasal 31 mengamanatkan kepada pemerintah untuk menjamin hak setiap warga negara mendapatkan pendidikan di berbagai jenjang, mulai dari tingkat dasar, menengah, dan tinggi.   

Peran pemerintah semakin penting karena swasta belum tentu berminat untuk turut serta. Sebab, sektor pendidikan membutuhkan biaya tinggi pada tingkat perencanaan sampai pelaksanaan. Sementara, keuntungan yang diperoleh belum tentu sebanding dengan dana yang telah digelontorkan.

Sektor pendidikan senantiasa menjadi perhatian utama setiap pemerintahan di Tanah Air dari masa ke masa, termasuk pada masa Presiden Joko Widodo. Bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, Presiden memiliki program kerja bertajuk Nawa Cita. Salah satu poin utama adalah peningkatan kualitas hidup manusia melalui peningkatan kualitas pendidikan.    

Komitmen Presiden jelas terlihat dari konsistensi untuk menjalankan amanat UUD 1945, terutama untuk pengalokasian 20 persen dana pendidikan dalam APBN. Jumlahnya pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun seperti diketahui pendapatan negara dari penerimaan pajak kerap tak menggapai target yang ditetapkan.  

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, anggaran pendidikan pada tahun anggaran 2014 mencapai Rp 371,2 triliun. Setelah itu, secara berturut-turut, nominalnya meningkat menjadi Rp 404 triliun (2015) dan Rp 419,2 triliun (2016). Akan tetapi, pada tahun ini jumlah anggaran pendidikan menurun menjadi Rp 416,1 triliun.

Alokasi anggaran pendidikan dilakukan tiga jalur. Pertama, melalui belanja pemerintah pusat. Penggunannya digunakan antara lain untuk penyediaan beasiswa untuk siswa/mahasiswa kurang mampu, rehabilitasi ruang kelas, pembangunan unit sekolah baru dan ruang kelas baru serta pembangunan prasarana pendukung dan pemberian tunjangan profesi guru.

Kedua, melalui transfer ke daerah antara lain untuk gaji pendidik, tambahan penghasilan guru pegawai negeri sipil daerah, dan bantuan operasional sekolah (BOS). Ketiga, melalui pengeluaran pembiayaan yang disebut Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN) yang terdiri atas dana abadi pendidikan dan dana cadangan pendidikan.   

Apabila mencermati pengalokasian anggaran pendidikan, keinginan Presiden menyisihkan sebagian anggaran bukan kebijakan baru. Sebab, proses investasi telah dilakukan sejak 2010. Nominal penyisihan ini terus meningkat dari kisaran Rp 5 triliun (APBN 2016) hingga mencapai Rp 15 triliun (APBN 2018).  

Terlepas dari mekanisme pengalokasian anggaran, kita patut mencermati apakah sistem pendidikan nasional sebagaimana amanat UU telah terlaksana dengan baik. Untuk mengetahuinya, kita bisa mengacu kepada hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap sejumlah indikator pendidikan pada kurun waktu 2014 hingga 2016. Salah satunya pada angka partisipasi kasar (APK).

APK untuk SD/MI meningkat pada 2014 (108,78) dan 2015 (109,94), namun menurun setahun kemudian (2016 109,20). APK SMP/MTs juga menunjukkan peningkatan dan penurunan yang sama dengan APK SD/MI (2014 88,43, 2015 90,63, dan 2016 89,98). Kemudian APK SMA/MA terus meningkat pada kurun waktu tersebut (2014 73,95, 2015 77,39, dan 2016 80,44). Sementara APK perguruan tinggi 2015 (20,89) menurun dari 2014 (25,76), akan tetapi meningkat kembali pada 2016 (23,44).

APK ini merupakan indikator yang kerap digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan. Namun, jika dilihat, masih banyak pekerjaan rumah, terutama di bidang pendidikan dasar yang meliputi tingkat SD/MI. Nominal 109,20 persen per 2016 menunjukkan masih ada 9,20 persen dari penduduk yang tidak berusia 7-12 tahun yang bersekolah di SD/MI. Jumlah yang tidak sedikit tentunya.

Kemudian, bagaimana dengan potret pendidikan Indonesia di dunia? Mengutip laporan DW pada Februari 2017, Indonesia berada di posisi 108 dunia dengan skor 0,603. Secara umum, kualitas pendidikan Indonesia di bawah Palestina, Samoa, dan Mongolia. Di Indonesia tercatat hanya sebanyak 44 persen penduduk menuntaskan pendidikan menengah. Sementara 11 persen murid gagal menuntaskan pendidikan alias keluar dari sekolah.

Di kawasan ASEAN, Indonesia menempati urutan kelima di bawah Thailand (negara dengan anggaran pendidikan tertinggi yakni 7,6 persen dari PDB), Malaysia (negara dengan tingkat literasi penduduk dewasa mencapai 94 persen), Brunei Darussalam (negara yang menanggung semua biaya pendidikan), dan Singapura (negara dengan jumlah murid yang gagal menuntaskan pendidikan sebanyak 1,3 persen).

Berdasarkan fakta yang telah dipaparkan tadi maka pada akhirnya kita semua memahami keinginan Presiden untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui pengalokasian anggaran pendidikan yang tepat sasaran. Investasi dalam wujud dana abadi pendidikan menjadi langkah yang sangat berguna dan bermanfaaat.

Mengingat alokasi APBN yang terus kembang-kempis maka sebaiknya dana abadi pendidikan ini jangan disedot lagi dari APBN. Para stake holder pendidikan harus punya pemikiran kreatif untuk mengumpulkan dana abadi dari kekuatan perekonomian indonesia dan bukan dari APBN. Tentunya juga perlu adanya pengawalan yang ketat. Hal lainnya lagi perlu ditegaskan bahwa dana abadi ini hanya dipergunakan untuk kepentingan pendidikan saja, bukan untuk sumber pembiayaan program lain.

Sekali lagi, semua ini tentunya tidak bisa dicapai sendirian oleh pemerintah. Sektor swasta dan juga masyarakat perlu berperan serta dalam proses ini. Demi tercapainya cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tertuang pada pembukaan UUD 1945, yaitu masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

*) Rektor Universitas Darma Persada

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement