Selasa 25 Apr 2017 21:16 WIB

Pengamat: Sebagai Pejabat, Tuntutan Ahok Seharusnya Diperberat

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Bayu Hermawan
Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seusai menjalani sidang lanjutan di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (25/4).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seusai menjalani sidang lanjutan di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (25/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), M. Mudzakkir mengatakan bahwa dikatakan melanggar atau tidak melanggarnya jaksa penuntut umum (JPU) bisa dilihat dari pasal apa yang dipakai jaksa untuk menuntut terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Kamis,(20/4) lalu. Menurut Mudzakkir, seharunsya JPU memperberat tuntutan dan lebih tepat menuntut Ahok dengan pasal 156a.

"Karena jelas menyangkut akidah seseorang dengan mengatakan dibohongi 'pakai' surat al-Maidah," katanya kepada Republika.co.id, Selasa (25/4).

Mudzakkir menambahkan apalagi Ahok bukan orang Islam, dan ia seorang pejabat. Menurutnya dengan posisinya sebagai pejabat harusnya diperberat.

"Kewajiban pjabat adalah mempererat persatuan dan kesatuan NKRI,  bukan dengan cara mencemooh dan menodai kitab suci agama Islam. itu justru memperlemah kohesi dalam konteks kebhinekatunggalikaan Indonesia," ujar Mudzakkir.

Oleh karena itu Mudzakkir berpendapat, hukuman Ahok harus diperberat dengan memberikan hukuman tambahan, yaitu mencabut haknya untuk dipilih dan memilih selama lima tahun yang akan datang.

Selain itu Mudzzakir beranggapan prinsip dakwaan primer dan subsider adalah apabila terbukti, maka bisa dikenakan salah satu dakwaan, namun jika salah satu yang terbukti, yang dipakai adalah salah satu diantaranya.

"Jadi prinsipnya dua-duanya memenuhi unsur, primer-subsider itu prinsipnya kejahatan yang sama tapi pilihan hukumannya yang berbeda," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement