Senin 24 Apr 2017 14:28 WIB

Pengamat: Tuntutan Ahok Bisa Ubah Pakem Penuntutan

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Bayu Hermawan
 Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan dengan terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (20/4).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan dengan terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (20/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menganggap tuntutan ringan yang dilayangkan Jaksa Penuntut Umum terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kasus dugaan penistaan agama bisa menjadi contoh buruk bagi penegakan hukum. Tuntutan tersebut juga menurutnya bisa merusak sistem hukum dan pakem penuntutan.

"Ini (tuntutan Ahok) tidak hanya menimbulkan perasaan tidakk adil bagi masyarakat, juga preseden buruk bagi penegakan hukum dan keadilan. Lebih jauh dengan jaksa berlindung di balik kewenangan (diskresi), tindakan ini bisa merusak sistem hukum dan pakem penuntutan" kata Fickar saat dihubungi Republika.co.id, Senin (24/4).

Fickar melanjutkan, tuntutan tersebut juga menunjukan adanya inkonsistensi pada keyakinan jaksa penuntut. Padahal, di awal persidangan, jaksa terlihat sangat yakin untuk membawa perkara tersebut ke meja hijau. Bahkan, dakwaan pun bisa diselesaikannya dalam waktu satu hari.

"Padahal sejak awal persidangan, sang JPU begitu yakin dan berkarakternya JPU ini untuk membawa perkara ini ke pengadilan. Bahkan dakwaan hanya dibuat satu hari saja," jelasnya.

Fickar menjabarkan, jaksa secara normatif mempunyai dua kewenangan. Pertama, kewenangan yang dimiliki jaksa adalah menuntut orang yang diyakini salah dengan hukuman maksimal. Kewenangan ini selain diatur dalam KUHAP, juga diatur dalamm UU kejaksaan, dimana dasarnya adalah asas legalitas.

Kedua, kewenangan yang dimiliki jaksa adalah untuk tidak menuntut karena keyakinan hukum (SP3) atau karena kepentingan umum. Kewenangan ini diatur dalam UU Kejaksaan.

"Dalam konteks tuntutan dalam perkara penodaan agama, nampak jaksa atau kejaksaan tidak tegas memilih salah satu dari dua kewenangan itu. Sebabnya bisa jadi kepentingan politik Jaksa Agungnya yang mengakibatkan jaksa penuntutnya tersandra oleh kepentingan Jagungnya," ujar Fickar.

Seperti diketahui, terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dituntut hukuman satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan oleh jaksa penuntut umum (JPU). Tuntutan percobaan ini dibacakan JPU dalam sidang ke 20 kasus di auditorium gedung Kementerian Pertanian RI, Ragunan, Jakarta Selatan, Kamis (20/4).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement