Senin 24 Apr 2017 10:37 WIB

ICMI: Jika Vonis Ahok Sesuai Tuntutan JPU, NKRI Bisa Hancur

Rep: Ali Yusuf/ Red: Bayu Hermawan
Anton Tabah.
Foto: Republika
Anton Tabah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Anton Tabah Digdoyo mengatakan, masyarakat tidak bisa menerima nalar dan pola pikir Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus dugaan penistaan agama yang menuntut terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan hukuman satu tahun penjara. Karena itu, Anto mengatakan para tokoh hukum dan tokoh lintas agama sebagai representasi rakyat berharap hakim menghukum maksimal terdakwa Ahok sesuai ketentuan yang berlaku.

"Sebagai negera beragama dan negara Muslim terbesar di dunia kita patut nukil warning dari Nabi Muhammad SWA dalam sabdanya yang masyhur negara akan hancur jika hukum tumpul pada pejabat-pejabatnya dan hanya tajam pada rakyat jelata," kata Anton kepada Republika.co.id, Senin (24/4).

Purnawirawan Polri itu melanjutkan, jika tuntutan terhadap Ahok merupakan bentuk intervensi politik maka bukan tidak mungkin negara akan hancur. "Jika politik diatas hukum asas rule of law rusak kehidupan bermasyarakat berbangsa bernegara akan hancur," ujarnya.

Anton yang juga menjabat Wakil Ketua Komisi Hukim MUI itu mengatakan, selama ini semua kasus penistaan agama selalu dihukum berat sesuai fatwa MA mengharuskan hakim memvonis hukuman berat pada pelakunya. "Karena kasus penodaan agama memiliki drajat keresahan masyarakat sangat tinggi, oleh karenanya mahkamah agung (MA) membuat fatwa agar hakim se-Indonesia menghukum seberat-beratnya  pelaku penista agama," katanya.

Untuk itu, kata Anton rakyat Indonesia dan tokoh-tokoh Indonesia sangat heran dengan tuntutan JPU terhadap Ahok yang hanya satu tahun penjara dengan alasan mantan bupati Belitung Timur itu berjasa pada negara. Terlebih, Jaksa Agung Prasetyo bilang Ahok tak terbukti menista agama Islam sangat bertolak belakang dengan JPU yang menyatakan Ahok terbukti secara sah telah menista agama Islam.

Hanya saja, menurut Anton meski JPU menyatakan Ahok terbukti secara sah telah menista agama, tapi tuntutan JPU sangat bertentangan dengan akal sehat ditinjau dari segi yuridis sosiologis filosofis hukum. Ahok, masih kata Anton, benar-benar telah sengaja menista agama Islam secara terencana, sistematis, terbuka, diulang-ulang dan tak menyesal bahkan menantang kalau jadi penguasa akan terus melakukan hal itu.

"Sepertinya JPU telah terjebak kepentingan-kepentingan di luar hukum. Dan ini sangat berbahaya akan menghancurkan NKRI," katanya.

Mantan sespri Presiden Soeharto itu melanjutkan, tuntutan JPU yang sangat ringan itu berefek asas equality. Ahok diperlakukan beda dari terdakwa lain seperti Permadi, Lia Eden, Asrwendo. Musadek, Rusgiyani Andrew Handoko. Mungkin alasan yurisprudensi tak mengikat, dengan nama-nama di atas, namun rasa keadilan masyarakat wajib diutamakan.

"Pak Permadi menuntut secara terbuka Ahok harus dihukum berat karena kasusnya lebih berat dari dirinya Pak Permadi juga dihukum berat padahal cuma bilang dirinya tak beragama," jelasnya.

Lanjut Anton, Arsewendo juga menuntut Ahok dihukum berat karena ia dihukum berat padahal ia tak sengaja menista agama. Ahok sadar dengan apa yang diucapkan dan akibatnya. Malah konten yang sama ditemukan berulang-ulang.

Anton menuturkan, bila pertimbangan Jaksa Ahok berjasa sebagai gubernur, logika yang digunakan jaksa sangat terbalik. Arswendo, Lia Eden, Permadi, Musadek, Rusgiani dan lain-lain tidak makan uang negara.

"Gubernur digaji rakyat. Jika seorang pejabat melakukan kejahatan maka vonisnya mesti lebih berat daripada orang biasa," katanya.

Jadi kata Anton tuntutan JPU  pada Ahok sangat tidak masuk akal. Ia mempertanyakan apakah ini karena jaksa agung orang parpol? Karena itu wajar jika rakyat menuntut jaksa agung Prasetyo dicopot. Jaksa Agung wajib individu steril bukan kader dari partai politik apapun manapun.

"Sekarang bola panas kasus Ahok di tangan hakim. UU 48/2009 Pasal 5 (1) menjelaskan Hakim dan hakim konstitusi wajib gali, ikuti, dan fahami nilai-nilai hukum rasa keadilan yang hidup di masyarakat," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement