REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menimbulkan polemik. Banyak pihak menilai tuntutan 1 tahun penjara dan dua tahun masa percobaan adalah bukti adanya intervensi dalam kasus tersebut.
"Ya mirip dagelan politiklah ya. Tuntutan JPU adalah sebuah indikasi ketidakseriusan dan bahkan kegagalan untuk membuktikan dakwaan yang sejatinya sejak awal kelihatan. Mulai dari proses penuntutan yang terkesan terburu-buru, penampilan saksi yang lemah, dan ketidak profesionalan tim kejaksaan," kata pengamat politik, AS Hikam saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (21/4).
Ditinjau dari ranah HAM pun, lanjut Hikam, banyak yang menganggap tuntutan tersebut sebagai kemunduran dalam perlindungan terhadap hak berekspresi dan perlindungan minoritas. Hikam mengatakan, karena kejaksaan bagian integral dari pemerintah, maka Presiden Jokowi juga terkena getahnya.
"Secara politik semakin banyak yang beranggapan bahwa adanya campur tangan presiden, padahal sejak awal kasus ini berproses presiden kan sudah menyebut dirinya tidak akan capur tangan dan intervensi," katanya.
Hikam mengimbau, persidangan bisa dilakukan dengan jujur. Sehingga kecurigaan bahwa proses persidangan tidak menjadi bahan olok-olok dan dianggap dagelan politik tidak ada lagi.