Jumat 21 Apr 2017 07:51 WIB

Angela Merkel, Misa El Shaddai: Jangan Bawa Agama dalam Politik!

Perdana Menteri Jerman Angela Merkel (tengah) di Masjid Istiqlal ketika berkunjung ke Indonesia Juli tahun  lalu. (Reuters/Beawiharta)
Foto: Reuters/Beawiharta
Perdana Menteri Jerman Angela Merkel (tengah) di Masjid Istiqlal ketika berkunjung ke Indonesia Juli tahun lalu. (Reuters/Beawiharta)

Oleh: Teguh Setiawan*

Saya curiga Muhammad Subarkah tidak tidur semalam. Jika tidak wirid panjang, diselingi tahajud, sebagai ungkapan rasa syukur, ya menghibur diri dengan menulis teori demokrasi. Atau apalah gitu.

Tapi saya yakin kawan saya yang satu ini nggak akan bisa menulis teori. Dia bukan intelektual. Dia orang modern dengan alam pikiran orang Jawa.

Dia pasti tidak akan bisa merumuskan teori demokrasi tanpa partai sektarian yang kampanye di masjid-masjid, karena saya masih ingat dengan apa yang dikatakan; "Lhe! Angela Merkel, PM Jerman saat ini, itu dari Uni Kristen Demokrat (CDU). Partai agama bukan? Jadi, apakah mungkin demokrasi tanpa partai sektarian?"

Kepada saya dia mengatakan; "Kan elu pernah cerita bagaimana ikut misa El Shaddai di Lapangan Edsa di Manila, hanya untuk menunggu organisasi Katolik ini mendukung siapa? Itu sektarian bukan"

Saya membayangkan Subarkah juga ngomong begini; "Ya nggak mungkin demokrasi tanpa partai sektarian. Itu melanggar kebebasan berekspresi. Nggak boleh kampanye di masjid? Siapa bisa menjamin orang lain tidak berkampanye di tempat ibadah lain."

You harus tahu, sejak demokrasi diterapkan di negara kota di Yunani, para calon berkampanye di kuil-kuil. Jadi, elu mau bilang apa mereka non-sektarian?

Saya membayangkan berusaha membantah semua pendapat Subarkah, tapi tidak bisa. Saya diam saja, sampai akhirya saya katakan; "Ya udah! Demokrasi itu bisa jalan jika yang kalah tak merengek, yang menang tak meledek."

Dia cepat membalas; "Ya nggak gitu. Itu juga melanggar kebebasan berekspresi. Meledek dan merengek itu berekspresi."

"Oke! Gimana jika demokrasi tanpa hoax?" Subarkah mengatakan; "Itu tidak bisa dijalankan. Demokrasi harus dibalut dengan fitnah, hoax, maki-maki, dan teriak-teriak. Bukankah kita pemaki sejati, yang selalu merengek dan menghibur diri -- juga dengan dara memaki-maki -- ketika kalah. Serta meledek lawan ketika menang."

Subarkah melanjutkan; "Udahlah, kita nonton Liga Champions aja. Sambil menyaksikan Lionel Messi meliuk-liuk kita membayangkan semua klub elite di Eropa dibeli cukong dari daratan Cina. Jika itu terjadi, Liga Champions akan berubah jadi Liga Lampion."

*Teguh Setiawan, Jurnalis Senior Mantan Wartawan Republika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement