REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris DPD PDI Perjuangan (PDIP) DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi mengakui pihaknya mengirimkan sapi ke Kepulauan Seribu pada Senin (17/4) kemarin. Namun, Prasetyo membantah pengiriman sapi terkait Pilkada DKI Jakarta.
"Setelah diklarifikasi kami partai memberi sapi, kan bukan untuk Paslon tapi untuk membantu warga di Pulau Seribu. Setelah diklarifikasi sudah selesai urusannya karena itu bukan hal yang sangat aneh, itu biasa kok," ujarnya di Jakarta, Selasa (18/4).
Pria yang akrab disapa Pras itu melanjutkan, panasnya bursa Pilkada membuat semua mata tertuju pada segala kegiatan yang dilakukan partai. "Kebetulan ini Pilkada dan kami disorot terus. Itu internal partai, gak ada kepentingan pemenangan. Itu sapi buat DPC PDIP Kepulauan Seribu, bantu membantu ke partai itu biasa," tegasnya.
Ketua Panwaslu Kepulauan Seribu, Syarifuddin mengaku mengamankan ratusan paket sembako, puluhan ekor sapi siap potong dan beberapa alat bantu penyandang disabilitas. Barang tersebut diamankan karena dibawa simpatisan pasangan cagub DKI pasangan nomor urut dua, Ahok-Djarot di saat masa tenang.
"Benar barang-barang itu dari Jakarta dan sudah kami amankan," kata Syarifuddin.
Syarifuddin mengatakan jumlah sapi yang dibawa dari Jakarta yang diduga akan dibagikan ke simpatisan Ahok-Djarot sebanyak 23 ekor sapi. "Jadi total semua sapi yang kita amankan 23 ekor. Dan untuk jumlah sembako benar 150 (paket)," ujarnya.
Syarifuddin mengatakan 23 sapi yang dibawa dari Jakarta itu memang dibawa simpatisan PDIP yang ada di wilayah Kepulauan Seribu. Bahkan di antaranya kata Syarifuddin ada simpatisan PDIP yang berasal dari provinsi lain.
"Kalau berdasarkan keterangan sementara simpatisan ini datang dari daerah Jawa Tengah," katanya.
Sementara Ketua Bawaslu DKI, Mimash Susanti mengatakan ihwal sembako yang dibagikan di masa tenang kampanye harus ditindak secara tegas. "Di masa tenang ini adalah menghentikan kegiatan pembagian tersebut dan mengamankan sembako tersebut supaya tidak dibagikan sampai selesai pemungutan suara," tegasnya.
"Kalau itu dilakukan maka ini ada sanksi pidananya. Sanksi pidananya itu penjara antara 36 sampai 72 bulan itu ada di pasal 108 ayat 3. Dan dendanya itu antara Rp 200 juta sampai Rp 1 milyar. Dan bagi Paslon kalau bawaslu berhasil membuktikan yang bersangkutan memang melakukan politik uang, maka bisa dianulir, didiskualifikasi. Jadi memang berat sekali sanksinya," jelasnya.