REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peringatan May Day sebagai hari buruh yang selama ini identik dengan aksi demonstrasi ternyata member efek negatif terhadap jumlah anggota serikat pekerja/buruh. Di sini lain, aksi demonstrasi tersebut tidak secara signifikan mengurangi tingginya jumlah pengangguran di negeri ini.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Panasonic Gobel (FSPPG) Djoko Wahyudi mengungkapkan, dampak negatif maraknya aksi demo buruh di hari May Day adalah berkurangnya jumlah anggota serikat pekerja hingga 700 ribu orang dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
“Tentu banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan jumlah anggota serikat pekerja. Tapi, salah satunya adalah aksi demo yang pada akhirnya tidak melahirkan kesepakatan,” kata Djoko di Jakarta, Kamis (13/4).
Djoko melanjutkan, berdasarkan data yang dimilikinya, dalam kurun tiga tahun terakhir terjadi penurunan anggota serikat pekerja sekitar 600 ribu sampai 700 ribu orang. Adapun jumlah anggota serikat pekerja/serikat buruh hanya 2,71 juta orang atau 5,5 persen dari 49 juta pekerja formal. “Ini jumlah yang sangat kecil,” katanya.
Data FSPPG menyebutkan, jumlah pengangguran saat ini masih berada di angka 7,03 juta. Jumlah ini dinilai Djoko masih cukup tinggi. Karena itu, dia menyarankan, pilihan isu dan cara gerakan serikat buruh/serikat pekerja harus dievaluasi dan diarahkan pada isu-isu yang mewakili mayoritas persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. “Ini agar gerakan mendapatkan dukungan dan apresiasi dari pekerja di seluruh Indonesia.”
Menurut Djoko, citra yang tercipta dalam masyarakat terhadap kalangan buruh sangat terkait dengan apa yang dilakukan oleh serikat pekerja. Salah satu parameternya adalah angka-angka mengenai jumlah anggota serikat pekerja/serikat buruh dan pengangguran.
Citra masyarakat terhadap May Day, kata Djoko, tidak bisa dilepaskan dari pencitraan yang muncul di media yang memang diarahkan agar buruh digambarkan sebagai profesi yang suka berdemonstrasi. Padahal, ada perayaan May Day yang berbeda selain demonstrasi, seperti yang dilakukan FSPPG dari 2009 sampai sekarang, yakni merayakan May Day dengan ragam aktivitas yang bermanfaat.
Djoko mencontohkan kegiatan May Day yang digagas oleh sejumlah serikat pekerja/serikat buruh dengan menggelar Festival May Day is a Happy Day yang rencananya akan digelar di Senayan, Jakarta.
“Bagi kami, untuk memberikan pilihan dalam memperingati May Day tentu sangat baik, sepanjang tidak menghilangkan isu atau persoalan ketenagakerjaan yang dihadapi bangsa Indonesia,” ujarnya.
Dengan mengubah kebiasaan May Day dari aksi demonstrasi menjadi kegiatan positif, menurut Djoko, tidak akan menghilangkan ruh perjuangan kalangan buruh untuk meningkatkan kesejahteraannya. Demonstrasi memang masih bisa menjadi salah satu pilihan saluran dalam menyuarakan persoalan ketenagakerjaan. Namun, pekerja/buruh bisa menyuarakan isu ketenagakerjaan melalui aktivitas lainnya.