Rabu 12 Apr 2017 18:05 WIB

Timses: Ahok Itu tak Pernah Menggusur, Hanya Merelokasi

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Teguh Firmansyah
Warga korban penggusuran di Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara.
Foto: singgih wiryono
Warga korban penggusuran di Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Tim Pemenangan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat, Prasetio Edi Marsudi menegaskan, selama menjabat kedua pejawat itu tidak pernah melakukan penggusuran.

"Ahok-Djarot tidak pernah menggusur, mereka hanya merelokasi. Kalau menggusur artinya digeletakin begitu saja," kata Prasetio di Menara Bidakara, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (12/4).

Menurut Prasetio, saat ini relokasi merupakan salah satu jalan keluar untuk mengurai banjir di Jakarta lantaran lokasi yang seharusnya untuk resapan air justru ditempati masyarakat untuk tempat tinggal. "Sekarang lagi kita siapin rusun. Buat orang Jakarta mental yang jelas jangan buat mereka di bawah terus," tegasnya.

Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, menyampaikan, masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi masa pemerintahan yang paling tinggi memiliki kasus penggusuran dalam sejarah.

Berdasarkan laporan LBH Jakarta, pada 2015 terdapat 113 kasus penggusuran paksa yang terjadi di DKI Jakarta dengan 8.145 KK dan 6.283 unit usaha yang terdampak.

“Penggusuran paksa bahkan menggunakan kekuatan polisi dan kekuatan militer (tentara) yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Nelson saat merilis rekam jejak para calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta di gedung LBH Jakarta, Rabu (12/4).

Baca juga, LBH Jakarta: Penggusuran di Pemerintahan Ahok Tertinggi dalam Sejarah.

Selain itu, berdasarkan penelitian terdapat 84 persen atau 97 kasus penggusuran dilakukan tanpa melalui prosedur musyawarah dengan warga setempat. Dalam laporan itu, hanya 16 persen penggusuran dilakukan melalui musyawarah dan satu kasus yang membongkar dengan sukarela. Hal ini dinilai menunjukkan pembangunan di DKI Jakarta masih jauh dari partisipasi masyarakat serta masih meminggirkan orang lemah dan miskin.

“Penggusuran yang dilakukan Basuki-Djarot malah menggunakan dana dari pengembang reklamasi dalam bentuk kontribusi tambahan,” kata Nelson. Hal ini terlihat dalam penggusuran perkampungan nelayan di pesisir Teluk Jakarta.

Nelson menambahkan, terdapat pula rencana penggusuran yang telah dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta. Dalam rencana penggusuran ini, terdapat 325 titik yang akan digusur oleh Pemprov DKI Jakarta. Penggusuran ini, kata Nelson, sering disebut pemprov untuk mengembalikan fungsi ruang terbuka hijau (RTH).

Namun, ketika yang melanggar adalah pengembang besar, pemprov DKI Jakarta tak melakukan tindakan sama. Tak hanya itu, Nelson juga menyebut reklamasi Teluk Jakarta yang berpotensi merusak lingkungan dan menimbulkan bencana juga dibangun dengan rencana serupa. “Sebanyak 17 ribu nelayan akan tergusur dan Pemprov DKI Jakarta menjawabnya dengan rumah susun,” ujarnya.

Nelson menyebut, alasan lain yang diberikan untuk melakukan pengusuran yakni normalisasi sungai yang sering kali menjadi penyebab banjir Jakarta. Sebagai solusinya, Pemprov DKI memindahkahkan warga ke rumah susun. Namun, berdasarkan catatan LBH Jakarta, warga justru mengalami peningkatan kebutuhan hidup dan tidak mendapatkan Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat secara merata. “Akibatnya terjadi tunggakan pembayaran sewa rusun yang menggunung. Penggusuran paksa memicu dampak kemiskinan dan semakin memperbesar ketimpangan ekonomi,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement