Rabu 12 Apr 2017 12:49 WIB

Ardian Syaf, Yahudi, dan Adiwira

Simbol 212 di Komik X-Men Gold Marvel
Foto: gizmodo.com
Simbol 212 di Komik X-Men Gold Marvel

Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika

Pada akhirnya, Ardian Syaf mengucapkan selamat tinggal. Goresan tangannya yang telanjur jadi buah bibir dan konsekuensi yang sudah diduga komikus asal Jawa Timur tersebut mewujud. Perusahaan komik tempatnya bekerja, Marvel Comic, menjatuhkan sanksi dan memutus kontrak Ardian. Dan seperti biasa, warganet terbelah.

Mula-mula, saya ingin mengajak pembaca yang budiman menengok sejarah para adiwira (superhero) dalam komik di Amerika Serikat. Mau dikata bagaimana juga, sejarah komik adiwira lekat sekali dengan pengalaman wangsa Yahudi. Superman, adiwira pertama yang muncul dalam Action Comic pada 1938, adalah ciptaan Joe Shuster dan Jerry  Siegel. Keduanya adalah putra imigran Yahudi Eropa.

Demikian juga, Bob Kane dan Bill Finger yang merancang Batman. Ada juga Will Eisner yang namanya diabadikan sebagai penghargaan puncak buat komikus di AS. Stan Lee yang memberikan kita Fantastic Four, Iron Man, X-Men, dan banyak lagi adiwira Marvel Comic, juga generasi pertama imigran Yahudi. Begitu juga Joe Simon yang mereka-reka Captain Amerika, dan Jack Kirby yang menerjemahkan rekaan Stan Lee dan Joe Simon ke dalam bentuk gambar.

Industri komik, menurut Gerrard Jones dalam buku ciamiknya "Men of Tomorrow" (2005), juga dimulai sebagai usaha Harry Donenfeld, seorang Yahudi Rumania yang mencari jalan menjual cerita-cerita agar lolos sensor. Ini bukan teori konspirasi, semata rekaman sejarah.

Belakangan, bakat-bakat yang mengisi industri komik Amerika Serikat kian beragam. Mulai dari para penulis Inggris yang luar biasa imajinatif seperti Alan Moore dan Neil Gayman, hingga ilustrator kelas atas dari berbagai bangsa termasuk dari Indonesia.

Dalam konteks itu, masuklah Ardian. Mendaku terkesan dengan Aksi 212 yang ia ikuti, ia sisipkan sejumlah pesan yang tak sedemikian tersembunyi dalam goresan tangannya untuk edisi perdana X-Men Gold. Ada isyarat untuk ayat ke 51 surat Almaidah di salah satu panel komik tersebut. Sebuah ayat yang berisi larangan mengambil non-Muslim sebagai “aulia”.

Nah, lini komik X-Men dengan segala variannya sedianya mendekati stagnansi belakangan. Ia dimulai dari gegara dalam alur cerita House of M (2005) gubahan penulis Bryan Michael Bendis. Singkat cerita, pada akhir alur cerita itu, jumlah mutan alias manusia-manusia yang mengalami evolusi terkini dan diimbuhi kekuatan super, berkurang drastis.

Pengurangan populasi mutan itu kemudian memicu skisma dalam kelompok superhero mutan X-Men. Setelah sekian tahun larut dalam alur tersebut, Marvel Comic ingin memulai penyegaran. Salah satunya lewat lini X-Men Gold yang digawangi penulis Marc Guggenheim.

Dalam X-Men Gold, kelompok X-Men dibayangkan akan dipimpin oleh Kitty Pryde, seorang mutan yang memiliki kekuatan menembus objek. Latar belakang ini jadi signifikan dengan keisengan Ardian karena meski tak banyak diketahui, Kitty Pryde adalah seorang Yahudi. Ia kerap digambarkan para ilustrator mengenakan kalung Bintang Daud. 

Tak seperti Magneto, pimpinan ekstremis mutan dan sempat ditahan di kamp konsentrasi Nazi, menurut laman Comic Book Resources, Kitty Pryde bangga dengan agamanya dan menjadikan spiritualitasnya untuk menebar kebaikan. Artinya, entah disengaja atau tidak, simbol yang digambar Ardian Syaf bukan hanya penolakan atas Basuki Tjahaja Purnama. Ia juga bisa dilihat sebagai tohokan terhadap kepemimpinan Kitty Pryde dalam alur X-Men Gold.

Tapi apakah yang dilakukan Ardian secara politis adalah hal yang tabu dalam komik Amerika Serikat? Sejak mula, politik sedianya bukan barang langka dalam komik-komik yang diterbitkan Marvel Comic maupun DC atau juga komik Amerika secara keseluruhan. Pada masa Perang Dunia II, misalnya, para adiwira AS kerap digambarkan memerangi Nazi Jerman. 

Komik X-Men, saat mula-mula diciptakan Stan Lee pada 1963, adalah juga parabel untuk perjuangan hak-hak sipil kulit hitam di AS. Charles Xavier, pimpinan X-Men yang mendambakan perdamaian mutan dan manusia biasa, adalah cerminan dari tokoh antikekerasan kulit hitam AS, Dr Martin Luther King Jr. Sementara Magneto, rekan Xavier yang menilai mutan harus melindungi diri mereka dengan jalan kekerasan kalau diperlukan, adalah simbolisasi Malcolm X yang juga berpandangan serupa terkait keberlangsungan ras kulit hitam AS.

Belakangan, seturut kecenderungan politik di AS seperti maraknya Islamofobia, hadir juga Kamala Khan, seorang putri imigran Pakistan AS yang mewujud sebagai adiwira Ms Marvel menurut cerita tuturan Willow Wilson. Ada juga Soraya, muslimah berburqah asal Afghanistan yang bergabung dengan X-Men sebagai Dust dan memiliki kekuatan mengubah diri jadi badai pasir.

Komik adiwira juga sejak 1970-an sudah berbicara soal-soal pelik macam kesetaraan gender (Wonder Women), kontrol negara terhadap warga masing-masing (rangkaian cerita Civil War/2006-2007), pemeriksaan terhadap kekuatan-kekuatan yang sepertinya tak punya batasan (Watchmen/1986), rasisme (Black Panther/1966), konflik keadilan dan moralitas (Superman dan Batman), dan banyak hal lainnya.

Dan tak seluruh isu serta gambar yang ditampilkan juga punya maksud mulia. Para kritikus komik kerap menemukan tendensi rasialis dan fasistik dalam karya-karya penulis sekaligus ilustrator Frank Miller seperti dalam 300 (1998) atau Islamofobia dalam Holy Terror (2011). 

Kendati demikian, isu-isu politik tersebut, baik dan buruknya, sepenuhnya disengaja oleh para penulis komik. Dalam alur kerja komik Amerika, para penulislah yang punya kuasa menentukan alur cerita dan nuansa. Para ilustrator seperti Ardian Syaf, biasanya hanya menerjemahkan skrip para penulis dalam panel-panel dan halaman komik. 

Jika para ilustrator hendak mengimbuhi pesan atau keisengan mereka, biasanya ditempatkan secara sangat subtil di bagian gambar yang harus dilihat berulang-ulang agar ketahuan maknanya. Salah satu contoh terkini adalah saat ilustrator Ethan Van Sciver menggambarkan berbagai komposisi yang membentuk kata “SEX” dalam setiap halaman dari edisi New X-Men #118 (2011).

Ini yang luput dilakukan Ardian. Alih-alih, ia menempatkan pesannya di kaus yang dikenakan salah satu tokoh utama X-Men, Colossus, serta terpampang dengan jembar di nama toko. Tak seperti Batman yang bekerja sembunyi-sembunyi dalam gelap, ia mendobrak seperti Hulk dan mengamuk layaknya Wolverine.

Dengan segala konteks tersebut, tentu tak mudah menilai aksi Ardian Syaf. Apakah ia seseorang ilustrator yang ceroboh mengimbuhi pesan yang bisa menyinggung para pendiri komik Amerika Serikat yang beretnis Yahudi? Atau seperti yang ia klaim sendiri, seseorang yang membela apa yang ia percayai benar dan hal-hal yang ia cintai? Bagaimana kalau kita membayangkan sang penulis tersebut sebenarnya tengah membayangkan jadi adiwira yang sedang mencoba melawan seseorang yang ia yakini sebagai penjahat super? n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement