REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil berharap masing-masing institusi negara menjalankan perannya masing masing dan tidak mencampuri kewenangan lembaga lain.
Hal ini ia ungkapkan menyusul ada permintaan penundaan sidang tuntutan perkara dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara oleh Polda Metro Jaya dan diamini oleh Kejaksaan Agung. Menurutnya, kekuasaan kehakiman itu adalah kekuasaan merdeka yang tidak bisa diintervensi dari pihak luar.
"Nah itu dia bikin bingung, tiba-tiba ada surat Polda dan diamini Jaksa Agung. Jangankan kapolda dan jaksa agung, presiden pun tidak boleh menunda jalannya sidang," kata Nasir saat dihubungi pada Sabtu (8/4).
Karena itu, permintaan penundaan sidang dari Polda Metro yang kemudian diamini oleh Jaksa Agung M Prasetyo membingungkan semua pihak. Seyogyanya pihak di luar persidangan dapat menghormati jalannya proses persidangan.
Sedangkan, sudah menjadi tugas polisi memang untuk mengamankan jalannya sidang dan memastikan persidangan semuanya berjalan lancar. Karenanya, ia mencurigai permintaan penundaan sidang hingga Pilkada selesai tersebut memang merupakan skenario untuk menyelamatkan suara Ahok di Pilkada 19 April mendatang.
"Jangan-jangan nanti Ketua Mahkamah Agung juga akan mengiyakan lagi. Kalau itu yang terjadi maka sudah sangat jelas bahwa negara ingin melindungi terdakwa penista agama," katanya.
Ia pun mengingatkan, bahwa isu ahok adalah isu yang sangat sensitif. Sehingga diharapkan jangan ada pihak yang mencoba mengintervensi kasus tersebut. Menurutnya, keputusan semua berada di bawah kewenangan majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
"Semuanya tergantung pada majelis hakim. Kalau mereka ikutan ingin menunda juga yaa sudahl lah, sempurna bahwa negara melindungi ahok penista agama," katanya.