Kamis 06 Apr 2017 19:43 WIB

MK: Pembatalan Perda Harus Lewat Mahkamah Agung

Rep: Dian Erika/ Red: Angga Indrawan
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono, mengatakan mekanisme pembatalan peraturan daerah (perda) kini hanya dapat dilakukan melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung (MA). Dengan begitu, gubernur tidak lagi memiliki wewenang untuk membatalkan perda melalui keputusan gubernur.

Pada Rabu (5/4), MK memutuskan bahwa pembatalan perda melalui keputusan Gubernur tidak sesuai dengan sistem peraturan perundangan di Indonesia. Perda merupakan produk hukum yang sama dengan undang-undang. 

"Artinya, perda dibuat oleh eksekutif dan legislatif. Bedanya hanya terletak pada pemberlakuan saja, yang mana perda berlaku secara lokal sementara UU berlaku secara nasional. Dengan mekanisme itu, sifat perda adalah mengatur sehingga tidak boleh dibatalkan atau dicabut baik oleh gubernur atau siapapun," ujar Fajar ketika dikonfirmasi, Kamis (6/5).

Dengan demikian, maka gubernur kini tidak bisa membatalkan perda kabupaten/kota melalui keputusan gubernur. "MK menyatakan perda kabupaten/kota bisa dibatalkan lewat mekanisme judicial review di MA," tutur Fajar. 

Sejalan dengan hal tersebut, jika ada keberatan yang diajukan pemerintah kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) terhadap keputusan gubernur terkait pembatalan perda pun tidak berlaku lagi. Artinya, peran Mendagri dalam pembatalan perda berubah menjadi pendekatan yang bersifat preventif.

Pendekatan preventif yang dimaksud yakni pada saat penyusunan rancangan peraturan daerah (raperda), harus mendapatkan evaluasi dari gubernur. "Sementara gubernur dalam rangka evaluasi harus berkonsultasi dengan Mendagri. Dengan berlakunya putusan MK, maka pihak manapun yang merasa dirugikan bisa mengajukan judicial review ke MA. Mekanismenya kami serahkan kepada MA," tambahnya.

Pada Rabu, majelis hakim MK memutuskan membatalkan aturan kewenangan Mendagri untuk membatalkan perda. Putusan itu menyusul gugatan yang dilayangkan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi).

Apkasi menggugat pasal 251 ayat 1 UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam pasal ini disebutkan bahwa "Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri".

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement