REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Assiddiqie, mengomentari soal kekisruhan di DPD soal kocok ulang pimpinan dengan terpilihnya Oesman Sapta Odang (OSO). OSO diketahui saat ini juga menjabat ketua umum salah satu partai politik (parpol).
Menurut Jimly, idealnya memang pimpinan di DPD RI tidak dipimpin oleh orang dari parpol. Apalagi ketua DPD dijabat oleh ketua umum salah satu parpol. "Itu tidak ideal, tapi undang-undangnya tidak melarang," katanya kepada wartawan, Rabu (5/4).
Undang-undang yang tidak melarang tersebut, karena memang tidak ada secara jelas disebutkan larangan bagi orang parpol atau ketua umum parpol menjabat pimpinan di DPD. Jimly mengatakan itulah yang saat ini menjadi masalahnya.
Sejak tahun periode ini juga ia mengungkapkan sangat banyak anggota DPD RI yang akhirnya menjadi pengurus di salah satu parpol. Dan itu karena yang membuat Undang-undangnya orang partai juga. "Jadi mau diapain lagi. Kita hanya bisa urut-urut dada saja," terang Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini.
Karena, jelas Jimly, yang diutamakan UUD adalah proses pemilihannya sebagai calon perseorangan dari daerah, bukan sebagai partai. Jadi tidak ada syarat mereka Anggota DPD tidak boleh berpartai, cuma calonnya itu perseorangan atas nama daerah.
Ia menegaskan seharusnya yang paling ideal memang di DPD itu jangan orang partai. Supaya bisa membagi penyampaian aspirasi dari kelompok non partai. "Tapi namanya parpol ya, mau diambil semua," ujarnya.
Ia tegaskan, inilah pentingnya etika berbangsa, termasuk berpolitik. Agar bangsa ini tidak hanya bertitik tolak pada tekstual aturan hukum, tapi roh etika dan moral juga penting.
Dia menyontohkan, seperti DPD saat ini, secara ideal memang bukan orang parpol karena representasi daerah. Tapi karena hukumnya tidak mengatur secara jelas, Jimly mengatakan, menjadi celah bagi orang parpol walaupun dengan mengabaikan etika dan moralitas yang ideal tersebut.