REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langit masih hitam. Matahari belum juga memamerkan sinarnya di Jalan Sultan Agung, Medan Satria, Bekasi. Alhasil, jalan utama yang menghubungkan Jakarta-Bekasi masih harus menggantungkan cahaya dari lampu penerangan jalan umum (PJU). Rabu (5/4) pagi, jalan itu masih belum ramai dilalui kendaraan. Sebuah becak yang melintasi jalan tersebut pun mengganjal pemandangan.
Ata, nama pengemudi becak yang tiga rodanya sudah botak digerus aspal. Saat saya temui di tempat ia biasa mangkal, pria yang saban hari menutup kepalanya dengan topi anyaman bambu berbentuk kerucut itu tanpa segan membagi kisah hidupnya selama menganyuh becak.
Ata sudah menjadi pengemudi becak sejak 1990. Ia dan kawannya Manto yang becaknya terparkir di sebelah becak Ata, dahulu mengayuh becaknya dari Karawang ke Bekasi. Jika becak yang dikayuh Manto masih milik sendiri, Ata mengaku becak yang dikayuhnya adalah sewaan. Ia harus membayar setoran sebesar Rp 5.000 setiap harinya kepada pemilik becak. Becaknya terpaksa dia jual karena membutuhkan biaya anak sekolah.
Trayek kayuhan Ata di sekitaran Kranji, Bekasi, dan ia biasa mangkal di depan Stasiun Kranji. Di era teknologi digital saat ini, Ata mengaku pendapatannya menukik drastis. Pria yang merantau dari Karawang tersebut mengakui era kejayaan becak sudah habis. Selain trayeknya dibatasi karena perda, gempuran transportasi online membuat jasanya makin sedikit yang melirik.
Dalam Perda Nomor 52 Tahun 1998 dinyatakan, jalan protokol di Kota Bekasi harus bebas dari becak dan kendaraan tidak bermotor seperti gerobak. “Sekarang mah susah, sepi gara-gara ojek online,” keluh Ata dengan dialek sunda yang kental.
"Sebelum ada ojek online sih lumayan, sehari paling sedikit Rp 50 ribu. Itu juga sudah sama makan,” kata Ata.
Biasanya, Ata dan Manto bisa narik lima sampai tujuh kali per hari. Tapi setelah adanya ojek daring, Ata dan Manto hanya dapat narik dua atau tiga kali saja per hari. Meskipun sepi penumpang, Ata dan Manto tidak mematok harga tinggi. “Ongkos mah, Rp 10 ribu. Kadang-kadang kalo dikasih lebih ya Rp 15 ribu, itu juga sama langganan,” ujar Manto.
Selain keterbatasan wilayah untuk narik, minat orang-orang untuk menggunakan becak juga menurun. “Ojek online sekarang udah banyak banget, orang-orang juga pada enggak mau naik becak, pada naik ojek semua,” katanya.
Ia mengaku sangat sulit menyisihkan uang untuk simpanan. Hasil narik becak hanya cukup untuk biaya makannya sehari. “Sekarang mah, sisa duit paling banyak Rp 15-20 ribu. Kalo dulu, seminggu itu bisa kekumpul sejuta rupiah. Kadang 10 hari bisa dapet sejuta dua ratus ribu rupiah. Tapi sekarang mah, 17 hari baru dapet Rp 500 ribu,” keluh Manto.
Cerita serupa diungkapkan pengemudi becak lainnya, Paryadi. Pria berusia 45 tahun ini biasa mangkal di depan RS Ananda, Pondok Ungu Kota Bekasi. Ia mengaku sudah menjadi pengemudi becak selama 25 tahun. Ketika ditanya mengenai alat transportasi yang kiat bertambah, Paryadi menarik napas panjang seraya menurunkan pundak. Matanya menerawang diselingi senyum getir di bibirnya. “Ngeluh,” jawab Paryadi singkat.
Pria asal Purwodadi itu mengaku tidak terlalu memaksakan diri untuk bekerja. Selain karena anak-anaknya yang sudah bekerja, Paryadi hanya perlu mengumpulkan uang untuk makan. Walau pun begitu, sering kali Paryadi tidak mendapatkan penumpang seharian.
“Pernah waktu itu engga dapet penumpang seminggu, akhirnya ngutang makan terus sama sodara. Makanya kalo ada duit langsung buat bayar utang,” kata Paryadi.
Meski mengeluh akan nasib pengemudi becak seperti dirinya, Paryadi yakin Allah telah menentukan rezeki seluruh hamba-Nya. “Hidup kan ya kaya roda berputar. Saya juga engga muluk-muluk, sudah bisa makan juga udah syukur,” katanya.
Pemerintah Kota Bekasi memang kerap melakukan razia becak di sejumlah jalan protokol, yakni di Jalan Ir H Juanda, Ahmad Yani, Mayor Hasibuan, Cut Meutia, dan Chairil Anwar. Kepala Bidang Penegak Peraturan Daerah Satpol PP Kota Bekasi, Deddy Supriadi juga membenarkan hal tersebut. “Sudah ada peraturannya, dan kami juga rutin melakukannya,” ujar Deddy.
Biasanya, becak yang terkena razia akan didata pemiliknya. Setelah didata, pemilik akan menjalani persidangan tindak pidana ringan di Pengadilan Negeri Kota Bekasi, paling lambat satu pekan setelah razia dilakukan. Deddy menjelaskan, saat ini pihaknya telah berkoordinasi dengan Dishub Kota Bekasi untuk membuat plang larangan adanya becak melintas di jalan protokol. "Aturan itu sudah jelas, tukang becak dilarang mangkal atau melintas di jalan protokol," ujar Deddy.
Jika dilihat dari sejarah perjalanannya, becak adalah kendaraan yang akrab dengan masyarakat Indonesia, bahkan sebelum merdeka. Becak pertama kali tiba di Indonesia pada 1937, untuk keperluan perdagangan pedagang Tionghoa. Pada 1940, becak mulai digunakan sebagai kendaraan umum. Eksistensinya meningkat pada zaman koloni Belanda. Namun, pemerintah melarang keberadaan becak karena jumlahnya terus bertambah, membahayakan keselamatan penumpang, dan menimbulkan kemacetan.
Jumlah becak kembali meningkat pesat ketika Jepang datang ke Indonesia pada 1942. Kontrol Jepang yang sangat ketat terhadap penggunaan bensin serta larangan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi menjadikan becak sebagai satu-satunya alternatif terbaik moda transportasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
Perubahan zaman memang menguntungkan banyak pihak, namun tanpa disadari ada pihak yang dirugikan. Keberadaan tukang becak di Bekasi saat ini mungkin dapat dihitung dengan jari. Kecanggihan teknologi secara paksa menyingkirkan para pengayuh 'tiga roda' ini. Keberadaan becak yang turut meramaikan sejarah Indonesia tempo dulu, kini bagaikan prasasti yang tertutup gedung pencakar langit Ibu Kota.