REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu ketentuan dalam nota kesepahaman antara KPK, Polri, dan Kejagung, yang mengharuskan adanya pemberitahuan sebelum melakukan pemeriksaan di salah satu lembaga tersebut, dinilai akan menggerus independensi KPK.
"Bukan hanya independensi yang tergerus, tapi kewenangan koordinasi dan supervisi yang diberi UU ke KPK, teralienasi (terasingkan)," ujar mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua lewat pesan singkat, Kamis (30/3).
Selain itu, menurut Abdullah, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga antirasuah itu pun akan menurun secara bertahap. "Dan pada klimaksnya, KPK sendiri yang membubarkan dirinya," kata dia.
Seperti diketahui, salah satu poin dalam nota kesepahaman itu, yakni terkait adanya pemberitahuan terlebih dahulu sebelum memeriksa seorang anggota dari salah satu lembaga tersebut. Pemberitahuan ini dilayangkan kepada pimpinan lembaga yang anggotanya diperiksa.
Menurut Abdullah, poin tersebut hanya akan menambah runyam proses pemberantasan korupsi. "(Pengajuan izin) Itu sama juga dengan akal-akalan pemerintah yang ingin penyadapan KPK harus dengan izin pengadilan," kata dia.
Ada kemungkinan, lanjut dia, ketentuan dalam nota kesepahaman tersebut merupakan hasil adopsi terhadap ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menetapkan bahwa jika kepolisian dan kejaksaan hendak memeriksa seseorang, itu harus mendapat izin atasannya terlebih dahulu.