Rabu 29 Mar 2017 17:31 WIB

Memulai Budaya Baca dari Desa

Membaca
Foto: photobucket
Membaca

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Roni Tabroni*

Rendahnya budaya baca di negara kita bukan rahasia lagi. Sayangnya, kondisi ini dari tahun ke tahun tetap seperti ini, tanpa ada perubahan yang berarti. Data hasil riset selalu mengulang nasib yang sama. Anehnya, yang gencar malah aktivitas riset tentang budaya baca, bukan bagaimana hasil riset itu dijawab dengan aksi konkret agar budaya baca itu benar-benar meningkat.

Persoalannya, mengapa budaya baca itu penting? Sampai hari ini belum pernah ada yang membantah bahwa salah satu karakteristik masyarakat maju adalah melek huruf, sehingga menjadikan aktivitas membaca sebagai gaya hidup. Di negara-negara berkembang tradisi membaca tetap tinggi kendati gempuran media televisi dan internet semakin kuat. Artinya membaca adalah identitas masyarakat berkemajuan.

Kasus Jawa Barat pun, misalnya, menurut beberapa informasi tetap memvonis bahwa masyarakatnya memiliki budaya baca sangat rendah. Kondisi ini diperparah dengan jumlah buta huruf yang masih tinggi. Sehingga kondisi ini sangat berkorelasi antara dua hal krusial, pertama, ketersediaan bahan bacaan. Bagaimana budaya baca akan meningkat jika fasilitas bacanya tidak ada. Kedua, tingkat kemampuan membaca. Untuk apa ada bahan bacaan jika masyarakatnya sendiri masih buta huruf.

 

Bagi saya budaya baca tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. Boleh orang berpendidikan tinggi, tapi kalau tidak memiliki budaya baca, maka tetap pendidikan hanya sebagai formalitas semata. Artinya tidak setiap orang yang berpendidikan suka membaca. Sekarang, bayangkan jika masyarakat itu tidak berpendidikan, apa yang akan diperbincangkan pada aspek budaya baca? Ini penting mengingat cermin Jawa Barat sesungguhnya sangat buram.

Data yang ada saat ini menunjukkan rata-rata pendidikan di Jawa Barat masih berkisar di 7,8 tahun, artinya usia kelas dua SLTP (belum lulus SLTP). Bagi Anda yang hidup di perkotaan besar seperti Kota Bandung, misalnya, mungkin menganggap hal ini mustahil, sebab di Kota Bandung masyarakatnya relatif berpendidikan dengan rata-rata pendidikan usia kuliah.

Harus diingat bahwa lebih dari 60 persen penduduk Jawa Barat tinggal di daerah yang dari aspek pendidikan sangat jomplang jika dibanding Kota Bandung. Apa artinya? Ternyata dengan angka rata-rata pendidikan masyarakat Jawa Barat maka persoalan budaya baca bukan perkara mudah. Membagi-bagikan buku misalnya hanya persoalan teknis dan dapat diselenggarakan dalam wakti singkat asal ada mata anggarannya – dan mata anggaran bisa diciptakan secara instant.

Kompleksitas persoalan budaya baca kini menjadi agenda mendesak dan harus menjadi bagian tak terpisahkan dari grand design pencapaian visi Jawa Barat 2025. Mengapa demikian? Sebab jika budaya baca menjadi bagian dari identitas kemajuan sebuah negara atau daerah, maka hal ini harus menjadi agenda yang ada di dalamnya – kalau tidak dikatakan prioritas.

Karena yang dibangun adalah budaya, maka logikanya tidak mungkin mengubah dalam waktu sekejap. Perlu proses panjang untuk menumbuhkan budaya ini, yang penting adalah bagaimana kita memulainya, tidak hanya wacana tetapi konkret di lapangan. Mengubah budaya berarti juga merubah pola pikir, cara pandang, termasuk hal-hal teknisnya seperti mengganti aktivitas tertentu dan diganti dengan membaca.

Dengan melihat cita-cita besar yaitu membangun budaya baca dan dibandingkan dengan tingkat kompleksitas persoalan yang ada, paling tidak dapat dijembatani melaui beberapa langkah kongkrit berikut, pertama, membangun budaya baca harus berawal dari good will dari pemegang kebijakan. Di saat para komunitas kreatif yang sudah melakukan kegiatannya sendiri, pemerintah sebaiknya merespon dengan program yang lebih massif lagi. Sebab komunitas biasanya hanya terfokus pada lahan garapan yang tidak terlalu luas karena berbagai keterbatasan.

Kedua, budaya baca sebaiknya dimulai dari pedesaan. Argumentasinya, selain mayoritas penduduk Jawa Barat ada di pedesaan, juga sesungguhnya sarana baca di perkotaan sudah tersedia, tinggal mau memanfaatkannya. Masyarakat desa, problemnya adalah minimnya sentuhan dari aspek budaya baca atau pembelajaran secara umum. Membangun budaya baca di pedesaan berbeda dengan merehabilitasi sekolah yang roboh, sehingga kalkulasinya menjadi proyek pembangunan fisik dan bisa dalam hitungan hari. Sebab tempat membaca di pedesaan tidak selamanya harus mendirikan bangunan atau fisik baru, tetapi dapat memanfaatkan sarana yang ada. Budaya gotong royong atau tradisi guyub bagi masyarakat desa sesungguhnya masih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan ini.

Ketiga, bahan bacaan. Bahan bacaan selain tersedia juga harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tidak ada budaya membaca jika bahan bacaannya tidak ada, juga bagaimana bahan bacaan itu akan dibaca jika memang tidak menarik atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bahan bacaan sebaiknya bersifat segmented disesuaikan dengan prioritas usia masyarakat yang akan menjadi calon pembaca.

Ketersediaan bahan bacaan juga harus dipikirkan aspek keberlanjutannya, sebab dengan kondisi masyarakat pedesaan, ketika mereka sudah mulai tumbuh tradisi bacanya maka akan mengalami kesulitan pada dua hal yaitu mengakses bahan bacaan baru (karena yang ada sudah dianggap membosankan) dan kemampuan membeli bahan bacaan. Artinya ketersediaan bahan bacaan juga harus bersifat berkala kendati buku yang mereka terima tidak selamanya baru dalam arti cetakan, tetapi baru dalam arti kedatangan dan belum mereka ketahui sebelumnya.

 

Keempat, budaya baru tidak akan muncul begitu saja tanpa adanya sebuah rekayasa sitemik dan melalui agen-agen yang berperan sebagai penyadar masyarakat. Maka dalam konteks ini dibutuhkan semacam fasilitator yang terdiri dari kalangan masyarakat lokal yang bertugas mendampingi masyarakatnya sendiri. Orang lokal memiliki dua keuntungan, pertama dia sangat paham kondisi masyarakatnya sendiri, kedua akan menjamin keberlangsungan. Mereka adalah orang yang secara kerelaan memiliki kesadaran dan kemauan untuk melakukan tugas ini dengan tanpa mengganggu aktivitas positif yang sudah berjalan. Aktivitas yang dibangun bersifat kultural dan alamiah.

 

Kelima, membangun kesadaran untuk mengubah pola fikir. Membaca sesungguhnya aktivitas teknis, percuma disediakan bahan bacaan jika masyarakat menganggap itu tidak penting. Tantangan terberat dari cita-cita ini adalah bagaimana membangun kesadaran masyarakat bahwa membaca itu penting, sehingga secara pragmatis akan berdampak pada aspek kesejahteraan mereka misalnya. Sebab jika kesadaran itu tidak tumbuh, maka jangan heran di masyarakat perkotaan pun misalnya, perpustakaan tetap sepi. Semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat juga tidak berbanding lurus dengan kesadaran membaca, sebab tidak sedikit misalnya di Kota Bandung saja, kampus bukan menawarkan ilmu tetapi seperti agen penyalur tenaga kerja. Lembaga pendidikan menjadi pragmatis, sehingga kesadaran datang ke perpustakaan tetap rendah.

Namun, harapan itu masih ada, sekurang-kurangnya pada masyarakat di pedesaan. Tinggal ada langkah konkret untuk membangun budaya baru itu bukan dengan selalu memberikan stempel bahwa masyarakat desa minim minat bacanya. Sebab dalam kondisi seperti sekarang ini, dengan tanpa riset pun kita dapat menebak dengan mudah, masyarakat di pedesaan jarang bahkan hampir tidak pernah membaca, karena memang tidak ada yang bisa dibaca. Tapi ke depan, saya kira anggapan ini akan berubah secara perlahan seiring dengan terbangunnya kesadaran masyarakat desa tentang arti penting membaca yang dibarengi dengan ketersediaan sarana baca yang cukup.

* Penulis adalah Staf Pengajar Universitas Sangga Buana YPKP Bandung

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement