Kamis 30 Mar 2017 08:00 WIB

KH Hasyim Muzadi Menembus Batas

Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA (Dosen UIN Jakarta)
Foto: dok.Istimewa
Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA (Dosen UIN Jakarta)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Sudarnoto Abdul Hakim MA *)

Tidak seperti kebanyakan tokoh atau ulama kunci NU lainnya, KH Hasyim Muzadi (KHM) tidak berakar dari pondok pesantren tradisional salafiyah. Dia juga tidak melakukan perjalanan intekektual ke Haramain atau pusat-pusat studi Islam di negara-negara Muslim lainnya di mana banyak orang Indonesia bermukim dalam waktu yang panjang untuk tafaquh fid din dari para ulama besar. Itu memang fenomena sebelum abad ke-20 yang kemudian melahirkan banyak ulama besar nusantara seperti KH Hasyim Asy'ari yang kemudian menjadi the founding father NU dan KH Ahmad Dahlan the founding father Muhammadiyah dan masih banyak lagi. 

Akar intelektual Islam KHM adalah Pesantren Modern Gontor dan IAIN. Selebihnya, persentuhannya dengan NU sehingga berhasil menjadi orang nomor satu di jamiyah NU, dimulai sejak dari lingkungan keluarga dan aktivitasnya di PMII. Jawa Timur menjadi tempat yang sangat penting dan historis di mana KHM meniti karir leadership sosial keagamaan dan politiknya. KHM memang seorang aktivis tulen dan matang dimulai dari bawah hingga menembus ke tingkat nasional dan bahkan internasional.

Sepanjang bacaan penulis, dia memang tidak termasuk darah biru NU; dia pinggiran. Akan tetapi keprigelannya, kematangan moral, dan intelektualnya, kemampuan sosialnya untuk bersikap ta'dhim kepada para Kiai dan Ulama, komunikasi verbalnya yang renyah dengan banyak kalangan serta humor-humornya yang khas saat berceramah, bahkan berbicara secara personal, menjadi faktor penting keberhasilan KHM dalam meniti perjalanan leadershipnya. Tentu saja, kehangatan kepribadiannya dan pemahamannya yang baik terhadap berbagai persoalan keagamaan, sosial, politik, dan masalah-masalah kebangsaan lainnya, juga menjadi sangat penting sehingga KHM menjadi tokoh yang sangat dihormati, didengar, dan diperhitungkan oleh kelompok masyarakat lintas agama dan bangsa.

Dalam tradisi pesantren lama, seperti yang diurai oleh Martin van Bruinessen dalam bukunya, silsilah atau sanad intelektual dan tradisi keagamaan, itu sangatlah penting. Ini, misalnya, terkait dengan kitab-kitab Kuning rujukan yang harus dikuasai dan diwariskan secara terus menerus dalam bidang kalam, fiqih, dan tasawuf. Logika sanad ini, sangatlah penting dalam tradisi yang dikembangkan di pondok pondok pesantren tradisional yang berkembang di nusantara dan dipimpin oleh para Kiai NU supaya Mu'tabaroh. Ini tampak juga dalam tradisi Tarekat. 

Maksudnya, pondok pesantren itu, seperti yang dilukiskan oleh Martin, terkait kuat dengan kitab kuning standard dan tarekat, dan ini kuat mewarnai tradisi intelektual dan keislaman di lingkungan NU. Seorang yang  mendirikan pondok pesantren sebetulnya yang telah memperoleh izin dan kebolehan (ijazah), otoritas serta lejitimasi intelektual dan moral dari sang kiai mentornya. Karena, pesantren yang didirikan haruslah merupakan jaringan dari sanad atau silsilah intelektual, tradisi keislaman dan tarekat yang Mu'tabaroh. Jadi, ada soal otoritas kiai dan otentisitas corak keislaman Mazhaby yang dikembangkan oleh pesantren. Ada jaringan ulama, jaringan guru-murid, dan jaringan pondok pesantren yang harus dijaga dan dirawat secara terus menerus.

KHM tidak berasal dari pusaran itu. Dia ber-tafaquh fid din di Pondok Pesantren Gontor bukan di pondok pesantren tradisional. Pesantren Gontor adalah pesantren modern dalam pengertian, pertama, mengadopsi logika dan teknik-teknik modern dalam mengelola dan mengembangkan pendidikan Islam. Kedua, pesantren ini tidak memiliki hubungan geneologis intelektual dan kultural dengan pondok-pondok pesantren tradisional. Karena itu, ketiga, kurikulumnya sangatlah berbeda  dengan pesantren-pesantren tradisional lainnya.  Keempat,  Pesantren Gontor memiliki kecenderungan untuk membangun sikap kritisisme.

Selain empat ciri modernitas Gontor di atas, budaya egalitarianisme di Gontor pun menjadi ciri yang sangat khas yang juga membedakan dengan pondok pesantren tradisional lainnya. Dan ini, sangat berpengaruh terhadap KHM. Ditambah dengan pengalaman dan pengembaraan intelektual Islamnya selama di IAIN membawa KHM ke sebuah lingkungan Islam yang sangat khas dimana nuansa Islam dan modernitas terintegrasi. Baik Pesantren Modern Gontor maupun IAIN, dua-duanya adalah merupakan produk sejarah modern di mana banyak elemen baru dalam pengertian antara lain terjadinya akomodasi cara pandang dan teknik-teknik barat dalam mengelola kehidupan termasuk pendidikan.

Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia memang terjadi seiring dengan arus perubahan dalam berbagai sektor kehidupan. Di era seperti inilah KHM muncul. Bisa dipahami, jika dalam salah satu tulisannya KHM pernah membuat catatan penting tentang pesantren tradisional terutama yang ada dan berkembang di lingkungan NU.

Intinya, menurut KHM, pondok pesantren NU telah terbukti memainkan peran penting dalam mengembangkan Islam Ahlus Sunah wal Jama'ah khususnya Syafi'i,  menyemai dan menyuburkan pengetahuan Islam di Indonesia. Peran sosio-kultural dan kebangsaan pondok pesantren juga tidak terbantahkan. Centre of excellence Islam ini tidak sekedar khas, namun juga telah terbukti menjadi trend setter Islam di nusantara. Melalui pesantren, nilai-nilai kesederhanaan atau kerendahhatian dan andap asor (Tawadhu'), toleransi (Tasamuh), solidaritas atau saling tolong menolong atau gotong royong (Ta'awun), kebersamaan dan kesamaan, kesederajatan (Musawat) diperkenalkan dan dihidup-hidupkan.

Nila-nilai yang diajarkan oleh Islam tersebut sangatlah sejalan dan kompatibel dengan nilai-nilai yang secara turun temurun diyakini kebenarannya dan diwariskan dalam budaya masyarakat Indonesia. Semua ini, kemudian semakin memperoleh penguatan yang sah dari ajaran Tasawuf. Tasawuf yang dalam periode-periode sebelumnya ada yang cenderung sangat asketik dan filosofis tertransformasi menjadi etika sosial yang produktif.

Namun, saat ini, harus ada kesediaan membuka diri dan menerima perubahan supaya Islam bisa jauh lebih fungsional tdak asketik spekulatif bagi kehidupan dan memiliki kemampuan menyelesaikan problem serta membangun kehidupan ke depan, seperti yang dilakukan oleh kaum modernis progresif (Muhammadiyah maksudnya). Itu artinya, sikap kritisisme dan egaliter, misalnya, harus dibangun sebagai basis tradisi intelektual dan keagamaan  pondok pesantren. Ini sama saja artinya bahwa KHM menganjurkan perubahan/tajdid dan ijtihad atau modernisasi mendasar pondok pesantren, ide yang sebetulnya juga menjadi perhatian penting pemerintah Orde Baru.

Feodalisme harus digantikan dengan suasana yang lebih terbuka, cair dan demokratis. Cara pandang/metodologi dan aspek-aspek epistemologi dalam sistim keilmuan atau tradisi intelektual pondok pesantren, juga harus dikembangkan. Karena itu,  prinsip-prinsip integrasi keilmuan antara apa yang disebut dengan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum positivistik harus menjadi langkah penting. Pesantren al Hikmah yang dibangun dan dipimpin oleh KHM, misalnya, adalah projek penting dari obsesi modernisasi di bidang pendidikan ini.

Cara berpikir seperti inilah yang besar kemungkinan membuat KHM dekat dengan Muhammadiyah. KHM memang formal adalah NU, tapi substansi sikap dan pandangannya terutama terkait dengan pentingnya pemanfaatan alat-alat modern dalam memahami dan mengembangkan/memajukan kehidupan bersesuaian dengan Muhammadiyah. Tak heran, kalau suatu saat sambil berkelakar, dia menyatakan, siap dipilih jadi Ketua Umum Muhammadiyah. Ini juga bagian suksesnya menembus batas. Batas atau sekat yang dalam banyak hal sering menimbulkan spirit kelompokisme atau fanatisme sudah dipastikan tidak akan memberikan manfaat apa-apa terutama untuk kepentingan yang jauh lebih besar yaitu kebangsaan atau Keindonesiaan.

Justru ukhuwah harus dibangun dan diperkokoh diantara kekuatan-kekuatan atau elemen bangsa untuk merawat, menjaga dan membangun bangsa. Tidak ada alasan untuk membangun dan bertahan dalam fanatisme kelompok, apalagi saling berbenturan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya atas nama apapun; perbedaan agama, keyakinan, ideologi, partai, bangsa tidaklah menjadi alasan untuk tidak bisa bertemu, kerja sama dan saling sharing. Integrasi nasional harus dibangun dan diperkuat untuk kemanusiaan dan kebangsaan. Kelompokisme dan sekterianisme akan menggerogoti atau merongrong persatuan karena itu, harus ada titik temu (Kalimatun Sawa') di antara berbagai perbedaan yang ada. Yaitu, menggali kesamaan-kesamaan dalam pengertiannya yang luas ketimbang menyempitkan diri. 

Bahkan, tidak saja paham kebangsaan yang diberi perhatian oleh KHM. Meyakini misi kerahmatan Islam, maka KHM juga sangatlah serius memikirkan dan berkontribusi di berbagai forum internasional untuk mengembangkan dan menebarkan pemahaman bahwa Islam adalah agama yang akan memberikan Rahmat bagi alam semesta (Rahmatan lil Alamin). Karena itu,  KHM menyediakan diri untuk melakukan perjalanan berdialog dengan berbagai kelompok yang berbeda baik agama, ideologi dan bangsa.

Peran-peran diplomatik bersama koleganya, antara lain Din Syamsuddin, dimainkan sekaligus untuk menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, sangatlah berkomitmen untuk menciptakan perdamaian, melawan gerakan dan ideologi apapun yang merusak kemanusiaan. Di samping itu, KHM ingin menegaskan kepada masyarakat dunia bahwa tindakan-tindakan kekerasan atau terorisme yang dilakukan oleh kelompok manapun tidak ada kaitannya dengan agama khususnya Islam. 

Akar kekerasan adalah ketidakadilan dan karena itu salah satu tugas utama pemerintah adalah menegakkan keadilan. Terorisme memang harus diberantas karena musuh kemanusiaan. Tapi, harus dilakukan dengan cara-cara dan pendekatan yang bermartabat dengan tetap menjunjung tinggi kehormatan dan prinsip-prinsip kemanusiaan. KHM benar-benar telah menembus batas dan didedikasikan untuk kemajuan, kemanusiaan, kedamaian dan kerahmatan bagi alam.

Wallahu a'lam bis showab.

*) Dosen UIN Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement