Rabu 29 Mar 2017 10:57 WIB

Fadli Zon: Agama dan Politik di Indonesia tak Mungkin Dipisahkan

Rep: Ali Mansur/ Red: Angga Indrawan
Fadli Zon
Foto: MgROL29
Fadli Zon

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Fadli Zon menegaskan agama dalam masyarakat Indonesia sudah menjadi realita sosial sekaligus politik, yang tak dapat dipisahkan. Bahkan secara historis, semangat ini sudah sejak awal diakui para pendiri negara ini. 

Agama juga, dikatakan Fadli, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia melingkupi seluruh aspek kehidupan baik ekonomi, politik, hingga hukum. Hal itu disampaikan Fadli untuk menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo saat kunjungan kerja ke Sumatra Utara. Jokowi menyatakan bahwa Politik dan Agama harus dipisahkan.

“Indonesia bukanlah negara agama, tapi itu bukan berarti agama harus terpisah dari kehidupan politik. Hukum agama diakui dalam sistem hukum kita seperti hukum perkawinan, warisan, dan seterusnya,” tegas Fadli, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/3).

Menurut Fadli, Bung Hatta pada 1973 yang sangat kuat mengingatkan Presiden Suharto agar RUU Perkawinan disesuaikan dengan aspirasi umat Islam. Kemudian Bung Hatta juga pernah menyatakan bahwa bagi Muslim berjuang membela tanah air bukanlah suatu pilihan, namun merupakan tugas hidup. Ini menandakan agama melekat dalam masyarakat kita.

Oleh sebab itu pula, di dalam Pancasila dan juga pembukaan UUD 1945, semua diawali dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini refleksi bahwa di Indonsia antara agama dan politik tidak dapat dipisahkan, dan justru merupakan kunci dari kebaikan bersama. Justru pemisahan agama dan politik bisa menimbulkan masalah. 

“Apalagi kalau menganggap agama sebagai candu seperti Karl Marx atau racun seperti kata Mao Tse Tung. Agama adalah tuntunan hidup bagi umatnya dan dijamin oleh konstitusi.” tambahnya.

Fadli Zon justru menilai gesekan dalam pemilihan kepala daerah, lebih disebabkan oleh pernyataan satu orang yang sangat provokatif. Problem utamanya terletak pada  ketidakmampuan satu orang mengendalikan ucapannya di depan publik. Sehingga melewati koridor yang sangat sensitif.

"Di situlah akar utamanya. Jika saja tidak ada pernyataan Saudara Basuki Tjahja Purnama yang menyinggung kelompok Islam, gesekan masyarakat juga tidak akan eskalatif seperti saat ini," ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement