Selasa 28 Mar 2017 20:09 WIB

Warlan: Kesalahan Besar Jika Memisahkan Politik dan Agama

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Agus Yulianto
Pakar hukum Unpar Asep Warlan Yusuf (kanan).
Foto: Antara
Pakar hukum Unpar Asep Warlan Yusuf (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kontroversi terkait pernyataan Presiden Jokowi tentang pemisahan agama dan politik, terus menggulirkan polemik. Pasalnya, Indonesia yang mayoritas rakyatnya beragama Islam, sudah pasti akan mengimplimasikan ajaran agamanya pada setiap aspek kehidupan, termasuk politik.

“Kalau kita merujuk pada ajaran agama, jangankan politik, menggunting kuku saja sudah diatur,” ujar Pakar politik dan hukum tata negara dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung Asep Warlan Yusuf saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (28/3).

Warlan menyatakan, sudah kesalahan mendasar jika memisahkan politik dan agama. “Kalau tidak, ya sekularisme itu namanya,” tegas Warlan.

Menurut Warlan, banyak istilah dan nilai-nilai agama yang dipakai dalam ketatanegaraan. Seperti, sikap kejujuran, adil dan musyawarah. “Kalau bukan nilai agama, nilai Alquran. Itu apa dong?” ucap Warlan.

Sebelumnya, saat peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Presiden Jokowi mengatakan, agar masyarakat memisahkan politik dari agama, atau sebaliknya, Jumat (24/3).

Warlan menyayangkan, pernyataan tersebut mengapa harus keluar dari presiden. Karena, kata dia, para pejuang kemerdekaan dan para pendahulu Bangsa Indonesia, bahkan memasukkan nilai agama dalam dasar Negara Indonesia.

Warlan berharap, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bisa membuka ruang dialog antara pemerintah dan rakyat. Sejatinya, menurut Warlan, MPR adalah tempat yang tepat untuk berkumpul dan bermusyawarah untuk memufakatkan sesuatu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement