Ahad 19 Mar 2017 19:55 WIB

Kapal Kandas di Raja Ampat Jadi Perhatian Serius Kehati

Rep: Lintar Satria/ Red: Maman Sudiaman
 Kapal fery melintas di kawasan wisata Piaynemo di Raja Ampat, Papua Barat.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Kapal fery melintas di kawasan wisata Piaynemo di Raja Ampat, Papua Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tata kelola ekowisata di kawasan Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) akan menjadi prioritas dalam dukungan pendanaan bagi kegiatan konservasi di kawasan ini. Langkah ini mendesak untuk dilakukan menyusul kejadian kandasnya kapal asing yang merusak terumbu karang di lokasi yang dikenal sebagai Crossover Reef.

Kawasan Kepala Burung, termasuk di dalamnya Kabupaten Raja Ampat adalah wilayah yang diakui dunia sebagai tempat dengan sumber hayati yang paling beragam. Ekosistem karangnya adalah yang terbaik di dunia. Memiliki luas lebih dari 225 ribu kilometer persegi, kawasan Bentang Laut Kepala Burung terdiri dari 2.500 kepulauan dan menyimpan 75% karang dunia. Kerusakan yang diakibatkan oleh Kapal Caledonian Sky yang kandas di sekitar Pulau Kri ini harus menjadi pelajaran berharga.

"Butuh waktu cukup lama untuk mengembalikan karang-karang yang rusak itu," ujar Manajer Program Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati), Basuki Rahmad dalam siaran persnya, Ahad (19/3).

“Kita perlu bersama-sama melakukan evaluasi dan menyusun rencana perbaikan bersama dengan para stakeholder dan lembaga yang bekerja di kawasan ini,” lanjutnya.

Menurutnya, kejadian pada awal Maret itu dapat menjadi indikasi bahwa perbaikan dalam sistem tata kelola wisata harus dilakukan secara terus menerus.  "Berapa banyak kerugian kita karena rusaknya terumbu karang itu jika dibandingkan dengan pemasukan dari kapal pesiar besar," kata Basuki.

Basuki menekankan perlu adanya kesepahaman dari semua pemangku kepentingan tentang tata kelola khusus bagi lokasi wisata yang masuk dalam kategori high conservation value seperti di Raja Ampat.

Kekayaan Raja Ampat telah mengilhami berdirinya inisiatif konservasi multi-partner BLKB pada tahun 2004, antara lain oleh Conservation International (CI), The Nature Conservancy (TNC) dan World Wildlife Fund (WWF). Saat ini, jaringan 12 Kawasan Konservasi Perairan (KKP) menjadi kekuatan bagi perlindungan dan pelestarian kawasan yang dikelola oleh masing-masing Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Inisiatif ini pun aktif mendorong dan memberdayakan masyarakat untuk menjadi pelaku utama dalam perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati kawasan ini secara berkelanjutan.

Demi keberlanjutan dalam hal dukungan pembiayaan, telah dikembangkan skema dana abadi bagi perlindungan kawasan BLKB. Dana abadi yang diberi nama Blue Abadi Trust Fund (BATF) ini target pengelolaanya mencapai 38 juta Dolar AS. Adalah Yayasan Kehati yang dipercaya sebagai administrator untuk mengelola dana tersebut. Kehati akan bekerja sama dengan berbagai lembaga konservasi yang selama ini telah bekerja di daerah bentang laut Kepala burung, antara lain CI, TNC, dan WWF.

Kehati telah memiliki pengalaman lebih dari 23 tahun sebagai Grant Making Institution dengan berbagai sumber pendanaan baik berupa  dana abadi, dana peruntukkan khusus, dll. Dengan pengalaman panjang ini, KEHATI optimis bahwa tata kelola ekowisata BLKB ke depannya akan jauh lebih baik, sehingga segala bentuk ancaman bagi terumbu karang di kawasan ini dapat diminimalisir.

“Tragedi ini tidak boleh terulang. Tahun-tahun awal BATF akan fokus untuk mendukung local stakeholder bersama pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan pelestarian dan peningkatan tata kelola ekowisata berbasis masyarakat yang berkelanjutan dan kelas dunia di BLKB,” tambah Basuki.

BATF yang didukung oleh Walton Family Foundation, USAID, MacArthur Foundation, Global Environment Facility, dan lainnya akan menjadi dana abadi terbesar di dunia untuk konservasi laut. Dana ini akan difungsikan sebagai pembiayaan upaya konservasi di Bentang Laut Kepala Burung yang berkesinambungan.

Komunitas lokal atau badan pemerintah yang menjalankan pengelolaan sumber daya perairan secara berkelanjutan menjadi sasaran bagi penyaluran dana ini. BATF diharapkan dapat menginspirasi kolaborasi antara masyarakat, Pemerintah Indonesia, Pemerintah lokal Papua Barat, lembaga non-pemerintah sehingga menjadi teladan yang ideal bagi upaya konservasi kawasan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement