REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Yogyakarta tahun ini membidik pajak yang belum disetor dari penyelenggaraan 13 titik reklame di beberapa wilayah di Kota Yogyakarta. 13 titik reklame ini dimiliki oleh 8 penyelenggara papan iklan di Yogyakarta.
Tindakan BPKAD ini merupakan tindak lanjut dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan DIY (BPK) pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pemkot Yogyakarta 2016. BPK menemukan adanya potensi pajak minimal Rp 953,2 juta yang belum masuk ke keuangan daerah dari sektor tersebut.
Pemkot Yogyakarta diberi waktu maksimal 60 hari untuk menindaklanjuti temuan BPK. Catatan BPK ini juga menjadi salah satu faktor penerimaan pajak reklame tahun 2016 tak mencapai target. Yaitu dari target Rp 5,6 miliar hanya terealisasi Rp 3,6 miliar atau sebesar 64,6 persen.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Yogyakarta, Kadri Renggono mengatakan, 13 titik reklame tersebut, delapan titik diantaranya berada di Jalan Abu Bakar Ali, dua titik di Jalan Magelang, Jalan Pasar Kembang, Jalan RE Martadinata, dan Jalan Jogonegaran.
"Secara faktual reklame yang mereka pasang masih berfungsi, mereka masih menerima manfaat sehingga berkewajiban membayar pajak. Demi asas keadilan jadi tetap akan kami upayakan memungut pajaknya tahun ini," ujar Kadri, Jumat (17/3).
Dikatakan Kadri, pada 2016 lalu pihaknya memang tidak memungut pajak pada 13 titik reklame ini. Ini dilakukan karena adanya masa transisi regulasi penyelenggaraan reklame yang baru yaitu Perda 2/2015. Dalam aturan tersebut, disyaratkan penyelenggara reklame wajib mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) konstruksi reklame dari Dinas Penanaman Modal dan Perizinan. Sedangkan aturan yang lama, penyelenggara reklame tak perlu mengantongi IMB. Namun dengan adanya temuan BPK tersebut, pihaknya akan meminta pajak terhutang ke 8 penyelenggara 13 titik reklame tersebut.
Diakuinya, pada 2016 lalu, pihaknya sebenarnya sudah mengeluarkan surat keterangan kesesuaian titik reklame kepada penyelenggara 13 titik reklame tersebut. Surat ini dijadikan syarat sebagi bekal mengurus IMBke Dinas Perizinan. "Karena IMB masih proses, belum keluar, maka kami tak pungut pajaknya," ujarnya. Dikatakannya, pasca keluar rekomendasi BPK akhir Januari lalu, dua penyelenggara reklame telah membayar pajak sekitar Rp 300 juta. Namun 6 penyelenggara lainnya masih dalam proses untuk pembayaran. "Tahun ini kita usahakan untuk pembayaran semuanya selesai," katanya.
BPKAD kata dia, juga telah memberikan data kepada Satpol PP untuk koordinasi penertiban mengantisipasi kemungkinan penyelenggara reklame lainnya tak bersedia membayar pajak sesuai ketentuan.
Terpisah, Ketua Komisi B DPRD Kota Yogyakarta, Nasrul Khoiri mengatakan, masalah mendasar atas temuan BPK khususnya tentang pajak reklame adalah faktor ketidaksiapan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk menyesuaikan sistem kerja dan operasional teknis dengan perda penyelenggaraan reklame yang baru yaitu Perda 2/2015.
"Perda tersebut efektif diberlakukan per 18 Mei 2016, namun pada saat yang sama Pemkot belum menyiapkan perwal sebagai petunjuk teknis penerapan perda tersebut. Perwal baru diterbitkan beberapa waktu setelahnya, padahal permohonan izin reklame sudah menumpuk," ujarnya.
Menurut penilaiannya, Dinas Penanaman Modal dan Perizinan, BPKAD, dan Satpol PP belum optimal mengimplementasikan aturan terbaru tersebut yang berakibat ada potensi pajak tidak terealisasi minimal Rp 953,2 juta berdasar temuan BPK.