Jumat 17 Mar 2017 06:07 WIB

Belajar dari Single Tariff Transjakarta

Red: M.Iqbal
 Petugas mengatur bus transjakarta koridor enam di lampu merah halte transjakarta Departemen Pertanian, Jakarta, Selasa (24/1).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas mengatur bus transjakarta koridor enam di lampu merah halte transjakarta Departemen Pertanian, Jakarta, Selasa (24/1).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Aang Afandi *)

Single tariff atau tarif tunggal, sistem yang diberlakukan BRT Transjakarta. Dengan sistem itu, penumpang hanya membayar satu kali saja, walaupun naik BRT beberapa kali. Semua itu tentu dengan catatan tanpa keluar dari halte. Sehingga ketika seseorang melakukan perjalanan mesti berganti tiga bus, maka pengeluarannya tetap saja sebesar Rp 3.500. 

Jika dikalkulasi, pengeluaran perbulan pekerja pengguna Transjakarta adalah Rp 154 ribu dengan 22 hari kerja atau sekitar Rp 182 ribu untuk 26 hari kerja. Jika gaji pekerja Rp 3 juta, maka untuk transportasi sehari–hari sekitar 5 persen sampai 6 persen dari gajinya. Ini adalah angka yang wajar, kalau tidak mau disebut sebagai angka yang murah untuk transportasi umum di kota. 

Sistem ini lebih menarik lagi, bila digabungkan dengan sistem penurunan tarif, misal dari Rp 3.500 menjadi Rp 2.000. Syaratnya jika seseorang bersedia berangkat sebelum jam 6 pagi. Memperoleh harga yang lebih murah dan mengurangi kemacetan pada jam sibuk, berarti publik juga diuntungkan. Itulah yang ditawarkan oleh Transjakarta. 

Apa yang dilakukan selama ini? ternyata PSO dari Pemerintah DKI Jakarta adalah sebesar 40 persen dari biaya operasional atau Rp 1,7 triliun pada 2015. Jumlah itumeningkat menjadi Rp 2 triliun pada tahun lalu. Itu artinya pemerintah provinsi mesti bersedia menyediakan PSO untuk itu. 

Hal yang sama juga berlaku dengan KA Jabotabek, jika kita menumpang dari Pasar Senen sampai ke Bogor yang dibayarkan sekitar Rp 5.000, di mana angkutan ini menggunakan PSO dari pemerintah pusat. Maknanya masyarakat diberikan pilihan untuk memanfaatkan kendaraan pribadi atau memiliki kesediaan untuk berganti ke angkutan umum. Walaupun persoalannya bukan hanya pada murah atau terjangkau, pasti nantinya akan berpikir ke kriteria: aman, nyaman, dan tepat waktu.

Apa yang terjadi pada angkutan kota di beberapa kota di Indonesia? Sebagian telah menyediakan BRT dan sebagian (besar) belum. Angkutan kota dan sistemnya masih semrawut, usia kendaraan yang cenderung tua, ngetem, ugal–ugalan, sebagian ada kejadian mengganggu kendaraan lain di jalanan, merupakan fenomena yang telah terjadi cukup lama.

Mengapa ngetem atau ugal–ugalan? Persoalannya karena mengejar setoran. Jika angkutan ini terintegrasi dan dikelola sebuah holding company (BUMD misalnya), maka setiap angkutan ini bertugas adalah bergerak dari satu terminal menuju terminal lainya. Tidak memikirkan memperoleh sebanyak mungkin penumpang dan tidak perlu berdesak-desakan. Karena setiap angkutan kota dibayar berdasar jumlah rit perjalanannya. Langkah berikutnya, angkutan ini nantinya akan semakin terawat, tidak cepat rusak dan standar ber-AC, yang artinya kendaraan selalu tertutup, bersih, dan tidak polusi.

Geser masyarakat 

Kembali pada persoalan tarif, jika saja setiap kota menerapkan single tariff, maka peluang bergesernya masyarakat dari kendaraan pribadi ke angkutan umum massal yang terjangkau akan terwujud. Apalagi dipastikan bahwa angkutan ini aman, murah, dan nyaman. Jika saja ada 4.000 pengendara motor yang bersedia beralih, maka perlu disediakan 100 minibus atau sekitar 30 bus kota ukuran sedang, walaupun mungkin kenyataannya tidaklah harus sebanyak ini, karena angkutan kota ini akan selalu mobile (bergerak) dari satu origin ke satu destination (OD) pulang pergi. 

Itulah sebabnya mengapa pemerintah berupaya mendorong kota–kota untuk mengembangkan sistem angkutan kota yang lebih modern, manusiawi, dan benar–benar melayani publik. Dalam RPJMN 2015–2019, pemerintah merencanakan menganggarkan sekitar Rp 6,9 T untuk pengadaan bus, Rp 163,9 M bagi fasilitas pendukung BRT, dan Rp 215,7 M yang akan dikembangkan di 34 lokasi di 34 Provinsi di Indonesia. (Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan RI). 

Secara riil Kementerian Perhubungan beberapa waktu yang lalu menyiapkan lebih dari seribu unit bus yang terdiri: 1050 unit BRT untuk beberapa provinsi, DAMRI, dan Perum PPD, 15 unit bus pemadu moda, 50 unit bus angkutan perkotaan, dan 125 unit bus angkutan perintis, yang diserahterimakan bagi berbagai provinsi di Indonesia.

Tentunya akan muncul persoalan lain ketika pengembangan BRT atau angkutan kota ini, seperti pembangunan halte yang (berpeluang) akan mengurangi luasan lahan hijau kota, penggunaan jalan khusus bus (busway). Ini memungkinkan tidak menyenangkan bagi pengguna jalan lainnya ataupun perlunya penyediaan kantong–kantong parkir yang luas pada titik tertentu. Tapi, itulah konsekuensinya, barangkali ini yang dinamakan dengan eksternalitas pada konsep ekonomi.

Yang terpenting lagi, kesediaan masyarakat untuk beralih ke angkutan publik. Bersedia dengan sukarela dan dengan perasaan happy, kemudian senang dan bangga dengan angkutan kota murah, terjangkau, aman, dan nyaman. Semoga saja terwujud. 

*) Dosen Politeknik Negeri Malang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement