REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sebagian besar pelaku klitih atau aksi kekerasan di Yogyakarta ternyata jauh dari pengawasan orang tua. Bahkan banyak di antara pelaku hidup dalam keluarga tidak lengkap alias broken home. Hal ini diindikasikan menjadi salah satu penyebab semakin maraknya aksi klitih di Yogyakarta.
"Kembali latar belakang orang tuanya. Mereka banyak yang jauh dari pengawasan orang tuanya. Ada yang berpisah dan ada yang tinggal dengan orang lain," ujar Kapolda DIY Brigjend Pol Achmad Dhofiri saat rilis penangkapan pelaku klitih yang menewaskan Ilham Bayu (16) pelajar SMP Piri I Yogyakarta, Ahad (12/3).
Sebanyak tujuh dari sembilan pelaku klitih berhasil diamankan Polresta Yogyakarta, Selasa (14/3).
Menurut Dhofiri, aksi patroli maupun razia hanya akan memecah sementara aksi klitih. Menurutnya untuk memerangi aksi semacam itu dibutuhkan kerjasama dengan pihak sekolah dan masyarakat terutama pihak orang tua. "Orang tua harus memberikan pengawasan penuh pada anaknya. Bagaimana bisa anaknya keluyuran tengah malam," ujarnya.
Guru di sekolah, kata dia, juga harus mulai mengidentifikasi gejala-gejala aksi tersebut di sekolah.
Hal senada diungkapkan Kaporesta Yogyakarta Kombes pol Tommy Wibisono. Menurutnya, orang tua tidak membiarkan anaknya keluyuran tengah malam. "Intinya peran orang tua sangat penting, jangan berikan anaknya kendaraan jangan izinkan keluar larut malam. Jika itu terjadi tinggal tunggu waktu saja jadi korban atau pelaku," katanya.
Tommy sendiri merasa heran, karena sebagian besar pelaku masih di bawah usia 17 tahun. Namun sebagian besar sudah diperbolehkan orangtuanya untuk mengendarai kendaraan. Hal seperti inilah menurut Tommy yang juga harus masuk dalam pengawasan orang tua.