REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Rencana keputusan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X yang akan memberhentikan operasional taksi daring (online) pelat hitam terus menuai pro dan kontra. Kali ini puluhan pengemudi taksi berargometer mendatangi kantor DPRD Kota Yogyakarta, Senin (13/3).
Mereka mendatangi gedung dewan untuk meminta klarifikasi terkait pernyataan Wakil Ketua Komisi B DPRD Kota Yogyakarta, Rifki Listyanto. Rifki mempertanyakan rencana keputusan gubernur tersebut. Pernyataan Rifki ini menyulut emosi para supir taksi argometer tersebut. Pasalnya, mereka sudah berjuang lama agar taksi daring tak resmi tersebut ditutup.
Koordinator aksi Sutiman mengatakan, para supir taksi berargometer yang sudah memiliki izin secara lengkap dan sudah beroperasi lama merasa dirugikan atas kedatangan taksi daring tak resmi. "Kami tidak menolak adanya sistem online dan kemajuan teknologi. Yang kami tolak ada;ah taksi yang beroperasi tanpa izin yang hanya bermodalkan panggilan online," ujarnya.
Menurutnya banyak kendaraan pribadi yang kemudian difungsikan sebagai taksi tanpa mengurus izin operasional angkutan sesuai ketentuan. Taksi seperti inilah yang mereka tuntut untuk ditutup. “Kami sudah berjuang dari Dinas Perhubungan, DPRD DIY hingga Gubernur. Sekarang sudah 90 persen kok tiba-tiba ada pernyataan dari anggota DPRD Kota Yogya seperti itu,” ujarnya.
Menurutnya, selama ini pengemudi taksi berargometer di DIY sudah bekerja sesuai aturan, termasuk dalam penggunaan argometer. Ia mencontohkan sesuai SK Gubernur DIY sudah diatur tarif buka pintu sebesar R 6.650 dan tarif per kilometer sebesar Rp 4.000. Dalam penggunaan argo juga terdapat argometer berdasarkan waktu dan jarak. “Untuk argo berhenti sejam itu Rp 40 ribu, sudah diatur dalam SK Gubernur bukan kami tentukan sendiri,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi B DPRD Kota Yogyakarta, Rifki Listyanto mengatakan, munculnya angkutan umum berbasis daring tersebut dikarenakan respons yang lambat dari pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat tentang transportasi umum maupun kebutuhan lapangan kerja. Kehadiran angkutan umum daring, sambungnya juga terbukti menjadi solusi untuk mengatasi pengangguran. Terlebih kehadiran aplikasi daring seperti Go-Jek, Uber, maupun Grab, disambut baik masyarakat.
“Biar nanti masyarakat yang menentukan sendiri pilihannya, pemerintah tinggal membuat regulasi terkait hal itu,” ujarnya.
Rifki mengatakan pihaknya cukup kaget dengan informasi terkait rencana pelarangan transportasi daring tersebut. Apalagi, kehadiran aplikasi daring seperti Go-Jek, Uber maupun Grab, disambut baik oleh masyarakat luas.
Menurutnya, adanya kendaraan daring ini sangat memberikan dampak positif. Diantaranya adalah dengan adanya transportasi daring benar-benar bisa memberikan kecepatan dan kemudahan bagi masyarakat.
Selain itu, transportasi daring juga menjadi salah satu upaya untuk mengentaskan pengangguran. “Harus disadari oleh pemerintah jika kendaraan online ini menjadi salah satu upaya mengurangi pengangguran. Serta menjadi jawaban atas problem penyediaan angkutan umum yang nyaman dan aman," ujarnya.
Sementara itu, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X menegaskan pihaknya bukan melarang taksi daring, melainkan akan mengeluarkan peraturan bagaimana supaya keadilan terjadi bagi pengemudi taksi.
"Selama ini taksi yang pelat kuning kan membayar pajak. Sedangkan taksi yang pelat hitam tidak membayar pajak. Itu kan tidak fair. Jadi bukan melarang (taksi daring-Red)," kata Sultan usai menghadiri acara Jogja International Furniture and Craft Fair Indonesia 2017 di Jogja Expo Center, Senin.
Terpisah, Kepala Bidang Angkutan Darat Dinas Perhubungan DIY Harry Agus mengatakan sampai sekarang Peraturan Gubernur terkait taksi pelat hitam belum keluar. ‘"Rencananya besok kami akan melakukan koordinasi lagi dengan Dirjen Perhubungan Darat," katanya saat dihubungi Republika, Senin