Jumat 10 Mar 2017 10:00 WIB

Bahaya Laten White Supremacy

Imam Shamsi Ali memimpin aksi 'I Am Muslim Too' di New York, Ahad (20/2).
Foto: Istimewa
Imam Shamsi Ali memimpin aksi 'I Am Muslim Too' di New York, Ahad (20/2).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Imam Shamsi Ali*

Sejarah kelam dunia kita tidak bisa dilepaskan dari tendensi "rasialisme" yang ada pada sebagian kalangan manusia. Sejarah pertarungan antara kebenaran (al-haq) dan kebatilan (al-bathil) juga diawali salah satu oleh tendensi rasisme ini. Iblis menolak memuliakan Adam karena alasannya "dia lebih baik" (khaer) dari Adam. Dan jelas alasan yang dipakai adalah alasan material. Lebih tegasnya Iblis beralasan bahwa penciptaannya lebih baik karena tercipta dari api (naar). Sementara Adam tercipta dari tanah (thiin).

Perasaan superioritas sebagian manusia karena "material basis" (dasar material), seperti warna kulit, ras, etnis, dan seterusnya, telah menjadi penyebab banyak kesengsaraan (miseries) dan kerusakan (destruction) dalam kehidupan manusia.

Jika kita kaji lebih jauh, perang dunia pertama maupun kedua disebabkan terutama karena adanya tendensi superioritas kulit putih Eropa saat itu di bawah komando Hitler. Bangsa Yahudi dianggap imigran, berpenetrasi ke dalam kehidupan mereka, dan bahkan menjadi pengusaha-pengusaha sukses, ilmuwan, dan lain-lain.

Puncak dari semua itu adalah pembantaian bangsa Yahudi di seluruh daratan Eropa. Mereka dikirim ke kamp-kamp, disiksa, dan diperlakukan tidak manusiawi. Mereka sejatinya ingin dibumihanguskan, sehingga sejarah mereka terhapus di atas dunia ini.

Dari sekian negara-negara Eropa saat itu, hanya Albania yang sebaliknya memberikan perlindungan penuh kepada warga Yahudi. Dan Albania adalah negara mayoritas Muslim saat itu. Mereka melindungi warga Yahudi dengan satu alasan: "Karena itulah yang seharusnya kami lakukan".

Mungkin mereka tidak memiliki ilmu Islam yang mumpuni saat itu, sehingga mereka tidak dengan tegas mengatakan: "Inilah ajaran Islam yang kami yakini". Tapi sikap mereka yang melindungi mereka yang terzalimi dan termarjinalkan itu adalah ekspresi iman yang ada dalam dada mereka.

Sejarah panjang penjajahan bangsa Eropa di berbagai belahan dunia, khususnya Asia dan Afrika, juga sejatinya tidak lepas dari tendensi 'superioritas' ras ini. Alasan ekonomi dan kekuasaan politik itu memang menjadi pendorong. Tapi tampaknya karena perasaan lebih sebagai ras inilah yang menjadi dasar utama.

Penjajah Eropa di negara-negara belahan Afrika bahkan membawa budak-budak mereka ke bumi Amerika. Mereka dipaksa melakukan kerja (kerja paksa) dan dirampas hak-hak kemerdekaan mereka. Tidak sedikit juga di antara mereka datang dari Afrika sebagai penganut agama Islam. Tapi dalam perjalanan hidup mereka sebagai budak mereka dipaksa untuk meninggalkan keyakinan dan jati diri mereka.

Dalam perjalanan sejarahnya Amerika tidak immune (terbebas) dari tendensi ini. Perjuangan warga berkulit warna lain selain putih, yang biasa dikenal dengan people of color selalu saja mendapat perlakukan yang tidak sejajar dengan sesama warga lainnya (baca kulit putih).

Walaupun sejatinya Konstitusi Amerika jelas dan tegas menjamin equalitas ini, justice for all, tapi tendensi superioritas inilah yang menjadi penghalang utama dari implementasi idealisme konstitusi. Di jalanan, di mal-mal, di perkebunan, bank-bank, bahkan di perkantoran-perkantoran masih saja terjadi diskriminasi karena SARA.

Diskriminasi ini bahkan tidak jarang terasa sistemik, sehingga terjadi pilih kasih dalam pembangunan di antara kantong-kantong warga putih dan warna (color). Hal ini masih terlihat di kota Manhattan, New York, di mana pembangunan kota tampak tidak imbang antara downtown, midtown, dan uptown. Downtown dan midtown begitu mewah dengan pusat-pusat bisnis dan apartemen mewah. Tapi uptown yang kebetulan umumnya dihuni oleh Afro Amerika dan Hispanic nampak kumuh.

Perjuangan warga kulit hitam di era tahun 60-an barangkali adalah saksi hidup dari tendensi rasialisme di Amerika ini. Di bawah komando orang-orang luar biasa seperti Martin Luther Jr, Malcom X, dan lain-lain Afro Amerika bangkit melakukan perlawanan dengan jalan damai (non-violent).

Setelah proses panjang dan berliku, perjuangan itu membuahkan hasil. Lebih delapan tahun lalu untuk pertama kalinya seorang Afro Amerika terpilih menjadi presiden Amerika. Barack Obama dianggap sebagai kristalisasi dari civil rights movement atau perjuangan mendapatkan hak-hak sipil.

White Supremacy

Kelompok radikal teroris kulit putih di dunia barat bukan sesuatu yang baru. Perjalanan Eropa sudah digeluti oleh tendensi perasaan lebih ini (superioritas). Perasaan di atas manusia lainnya berdasr ras, etnik, suku dan warna kulit begitu dalam sehingga ada kecenderungan untuk menjadikan orang berkulit warna (people of color) tetap berada di posisi tertindas dan ditindis.

Akan tetapi, karena pandangan dunia yang semakin amburadul, tendensi materialistik dan foya-foya (hedonistis) semakin menggeluti, kehidupan tidak lagi dikawal oleh fondasi moral, orang-orang barat kulit putih semakin menjatuhkan diri ke dalam lubang kehancurannya sendiri. Salah satunya mereka semakin tidak peduli dengan kehidupan keluarga, dan memiliki anak seolah beban hidup yang harus dihindari.

Akibatnya populasi mereka menjadi terminimalisir, dan populasi nonwhite semakin bertambah. Apalagi didorong oleh membesarnya pendatang dari negara-negara konflik yang juga tidak lepas dari keterlibatan negara-negara barat sendiri. Pengungsi dan imigran dari Afrika, Timur Tengah dan Asia semakin bertambah.

Pada akhirnya memang terjadi shifting demografi dalam masyarakat barat. Amerika tentunya tidak terlepas dari fenomena ini. Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran, bahkan ketakutan, sekaligus kebencian kepada warga nonwhite.

Salah satu bentuk kebencian itu adalah tumbuhnya kelompok radikal teroris warga kulit putih yang lebih dikenal dengan white supremacy. Di Amerika Serikat kelompok white supremacy ini telah lama meneror kelompok minoritas warga nonwhite. Mereka dalam melakukan gerakannya tidak canggung menggunakan cara-cara teror dan kekerasan.

Dalam beberapa dekade terakhir pergerakan white supremacy ini sempat tertekan, baik secara legal maupun secara moral. Secara legal karena yang memimpin Amerika adalah mereka yang sadar hukum dan konstitusi. Maka kelompok yang melakukan kekerasan, termasuk white supremacy ini akan menghadapi hukum yang tegas.

Secara moral karena dalam dekade terakhir tumbuh kesadaran pluralitas yang sangat tinggi di kawasan masyarajat Amerika, khususnya di perkotaan. Amerika mampu membentuk kesadaran kolektif tentang pluralistic society yang setara di mata hukum.

Masyarakat warna kemudian mendapat tempat dalam tatanan kehidupan publik. Afro Amerikan, Hispanic, Asian, dan semua dengan ragam agama dan kultur menemukan tempatnya dalam kehidupan publik Amerika. Minoritas kini menjadi pejabat, kongress, walikota, gubernur, dan lain-lain.

Puncak dari semua itu adalah ketika Amerika mencatat sejarah dengan memilih seorang Afro Amerika sebagai presidennya.

Perubahan tatanan kehidupan publik di dunia barat itu dari hari ke hari semakin memperbesar kemarahan dan dendam warga kulit putih. Maka di mana-mana terjadi reaksi negatif terhadap trend pertumbuhan imigrasi baru. Para politisi ekstrem di berbagai negara, termasuk Eropa, mempergunakan momentum tersebut. Maka terjadilah Brexit di Inggris sebagia satu misal.

Di Amerika Serikat sendiri terjadi hal yang sama, bahkan lebih buruk. Politikus-politikus ektrem Republikan mempergunakan sentimen kemarahan warga putih ini untuk membalas dendam kepada partai Demokrat, khususnya kepada Presiden Barack Obama. Momentum ini pula yang dipakai oleh sebagian, yang sejatinya nonpolitikus, tapi memiliki dendam dan kemarahan yang sama, seperti Donald Trump.

Pendukung Donald Trump adalah mereka yang memang ada ketakutan dengan demographic shifting dan marah dengan realita bahwa mereka semakin tersisihkan. Tentu yang paling dominan dalam hal ini adalah mereka yang memang secara sejarah memiliki mentalitas dendam kepada masyarakat berkulit warna (people of color). Mereka inilah yang dikenal dengan white supremacists.

Di sini lain tentunya perubahan ini juga mengancam dominasi kelompok dengan agama tertentu. Maka bagian dari white supremacy itu timbul kelompok radikal teroris atas dasar agama. Atau lebih tepatnya kelompok yang mengatas namakan agama Kristen. Mereka inilah yang dikenal dengan KKK.

Bahkan pada tataran yang masih rasional ada kelompok-kelompok tertentu, dan masih bagian dari mainstream masyarakat Amerika juga mendukung Donald Trump ini berdasarkan agama.

Perkembangan agama-agama non-Kristiani di Amerika, khususnya Islam dan Buddhisme, menjadikan kelompok mayoritas Kristen keras dan radikal khawatir. Maka janji kampanye Trump untuk melawan dan menekan Islam ditangkap oleh mereka. Dan mereka pun menjadi pendukung Donald Trump dalam pemilu lalu.

Kelompok terakhir yang saya sebutkan ini adalah kelompok Kristen Evangelicals, yang secara kolektif terang-terangan mendukung Donald Trump.

Intinya adalah bahwa pemerintahan Donald Trump, diakui atau tidak, jujur atau tidak, terbuka atau tertutup, memang didominasi oleh kelompok ekstrem kulit putih atau white supremacy. Dan ini dengan sendirinya mwnjadi ancaman tersendiri bagi bangsa dan negara ini.

Hingga detik ini saya yakin Amerika tidak pernah dan tidak akan besar tanpa menjunjung tinggi konstitusinya dan nilai-nilai universal yang dibanggakan. Amerika tidak akan besar, kuat dan indah kecuali jika wajah-wajah masyarakat pluralistik itu teranyam baik dan rapih dalam pelukan kesatuan Amerika.

Itu the United States of America yang saya kenal.

New York, 9 Maret 2017

*Presiden Nusantara Foundation

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement